Perempuan itu mendirikan rumah di gurun yang dipanggang matahari setiap kali, tiada henti. Di halamannya yang berangin, lahirlah semak-semak dingin yang kerapkali menusuk setiap inchi lubang pori saat malam hari.
Tapi perempuan itu tak keberatan apa-apa. Baginya sahara adalah anak-anak yang harus diasuhnya hingga dewasa. Menjadi baik-baik saja, lalu mengembara mencari padang savana.
Di beranda rumah yang terasing, perempuan itu bertanam hening. Menyiraminya setiap pagi dengan retakan-retakan mimpi, memupuknya berulang-ulang dengan airmata yang menggenang, dan berharap kelak akan memanen keriuhan dari serbuan hewan-hewan gurun yang kelaparan.
Pada vas-vas bunga yang sengaja dijajarkan di ruang tamu yang tak terurus, perempuan itu memelihara puluhan kaktus sebagai penjaga harapannya agar tak dirompak para durjana pemburu usia. Dia ingin hidup lama untuk menikmati setiap detik saat udara yang setia datang membawakannya asa.
Dari setiap dahan kaktus yang berduri, perempuan itu menitipkan patahan hati. Perlambang kegigihannya dalam memenangkan pertarungan melawan sunyi.
Dari setiap kaktus yang berbunga di hatinya, perempuan itu menyisihkan beberapa bulir airmata. Simbol dari kelelahan yang sangat paripurna. Setelah sekian lamanya disengat amanat untuk merawat oase sederhana yang digalinya.
Agar dia tetap bisa menyusun kembali teka-teki cinta yang dulu pernah menghancurkannya.
Jakarta, 15 Mei 2019