Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Fragmentasi Puisi

31 Januari 2019   15:23 Diperbarui: 31 Januari 2019   15:38 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi-puisi cinta bergelimpangan setelah dipatahkan kakinya. Tergeletak di perempatan jalan, pertigaan sungai, dan persimpangan antara surga-neraka.

Puisi-puisi sherpa memandu para petualang yang benaknya dikuasai matahari, gunung dan lautan. Mengiringi perjalanan imajinasi saat mereka tertidur sementara batinnya mendengkurkan pengembaraan.

Puisi-puisi ratapan atas derita yang di banyak tempat bebas berkeliaran. Terutama ketika dunia dikuasai sorot mata tamak berkilauan lalu menyediakan peluru-peluru untuk prasmanan. Perjamuan sempurna bagi kematian.

Puisi-puisi ringkih yang merintih lirih di atas bangkai filosofi tinggi yang hendak mengajak orang-orang untuk menjadi lebih berani menghadapi ketidakadilan yang pelan-pelan berusaha membunuh bumi. Ajakan yang diiyakan oleh sebagian kecil orang yang pada akhirnya menyisihkan hati untuk peduli.

Puisi-puisi berapi yang menyala-nyala di atas ubun-ubun kepala. Mencoba menghanguskan usia yang makin renta dengan cara mengawetkan kebaikan sehingga tidak ikut masuk dalam keranda.

Fragmentasi puisi dipersembahkan bagi semua orang yang berharap dunia menjadi lebih baik dengan cara menerima bait dan syairnya sebagai peringatan. Bukan sekedar sebuah perayaan kata-kata yang diritualkan.

Jakarta, 31 Januari 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun