Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tetralogi Air & Api, Idu Geni

10 Januari 2019   08:20 Diperbarui: 10 Januari 2019   08:30 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bersamaan dengan sumpah yang diucapkan pelan dan penuh perasaan tersebut, langit yang tadinya cerah tiba tiba tertutup mendung tebal, dan....blaaaarrr!  sekelebat petir menyambar di atas padepokan.  Langit mendengarkan sebuah sumpah....idu geni! 

Pendekar Sanggabuana memucat sejenak melihat kejadian alam itu.  Namun senyumnya sareh saat melanjutkan perkataan.

"Sudah aku katakan tadi putriku...apapun itu...aku akan mendukungmu...besok aku akan turun ke ibukota.  Mungkin aku akan lama. Aku harus berunding dengan Panglima Candraloka dan Ki Mandara.  Kau tidak perlu mengurus padepokan.  Sudah banyak yang mengurusnya.  Lakukan saja apa yang ingin kau lakukan di sini."

Dewi Mulia Ratri mengangguk dan memaksakan diri untuk tersenyum lemah.  Pendekar Sanggabuana menatap maklum.  Putrinya sedang dihantam badai sunyi.  Dia akan membiarkannya.  Putrinya adalah pendekar yang tangguh. Tidak ada apapun yang tidak bisa di atasinya.  Dia sangat yakin dengan hal itu.

Keesokan harinya, Pendekar Sanggabuana turun ke ibukota.  Pendekar ini mengajak hampir semua anggota padepokan yang sudah dewasa ikut turun. Ini untuk membantu jika saja terjadi kekacauan di istana akibat perebutan kekuasaan setelah Baginda Raja, Putri Mahkota, dan Pangeran Andika Sinatria tiada.

Dewi Mulia Ratri melanjutkan niatnya yang sudah mantap.  Mengasingkan diri di padepokan.  Memperdalam ilmunya hingga sempurna.  Tekadnya sudah bulat.  Dia akan turun setelah yakin dapat pergi ke Majapahit dan membalas dendamnya yang setinggi langit kepada orang orang Majapahit.  

Dia hanya menitipkan pesan kepada ayahnya agar Birawa mengatur Garda Kujang Emas sebaik baiknya mengawal istana.  Apalagi dia juga tahu, entah dimana Putri Anjani sekarang setelah terluka sangat parah di pertempuran Bubat.

---

Kakek kecil kurus itu menurunkan tubuh Putri Anjani di sebuah gua kecil di lereng Gunung Papandayan.  Diperhatikannya gadis yang terluka parah akibat pukulan Maesa Amuk itu.  Jika tidak segera ditolong, nyawanya tidak akan terselamatkan.  Kakek kurus yang tidak lain Datuk Rajo Bumi ini mendudukkan si gadis lalu menyalurkan hawa murni melalui punggungnya.  Beberapa kali Putri Anjani memuntahkan darah kental kehitaman. Pertanda luka dalam di tubuhnya memang sangat parah.

Untuk beberapa lama Datuk Rajo Bumi menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Putri Anjani, hingga akhirnya muntahan darah beku itu terhenti.  Gadis itu masih tetap tak sadarkan diri.  Namun nafasnya sudah mulai teratur.  Tidak lagi tersengal sengal tidak beraturan.  Datuk Rajo Bumi menghela nafas pendek.  Selama ini dia tidak peduli dengan orang lain.  Namun entah mengapa, waktu perang Bubat sedang terjadi dan dia melihat gadis ini hampir tewas,  hatinya tergerak untuk menyelamatkannya.  Dia melihat ada sesuatu pada diri gadis itu. 

Setelah melihat gadis itu sedikit membaik, Datuk Rajo Bumi bersuit kecil.  Seekor harimau hitam legam raksasa berjalan menghampiri dengan patuh. Datuk sakti itu memberikan isyarat agar si harimau menunggui dan menjaga Putri Anjani.  Lalu tubuh kurus kecil itu melangkah masuk ke dalam hutan lebat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun