Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tetralogi Air & Api, Idu Geni

10 Januari 2019   08:20 Diperbarui: 10 Januari 2019   08:30 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bab I

Dendam meleleh dari ujung ke ujung hati 
Tajamnya sengatan matahari bukanlah apa apa
Jiwanya murka semurka badai di neraka
Api di bumi menjilat jilat tanpa henti
Mengirimkan  hening sebagai tambur tanda peperangan
Sampai ketika darah kembali tumpah
Bergenang genang
Berkolam kolam
Berdanau danau
Bersamudera seluruh dunia.

Bab II

Padepokan Sanggabuana.  Dewi Mulia Ratri duduk bersimpuh di hadapan ayahnya, Pendekar Sanggabuana, yang terdiam mendengar seluruh rangkaian malapetaka yang menimpa Baginda Raja dan putra putrinya.  

Suara gadis itu tergetar dan kadang terbata bata.  Tidak ada tangisan yang keluar, namun mata itu menggambarkan bagaimana rasa di dalam hati gadis perkasa itu.  Terkadang kosong, menyala penuh bara, sunyi, berapi lagi, lalu hampa.

Pendekar Sanggabuana mengambil nafas dalam dalam setelah semua cerita putrinya selesai.  Ini benar benar malapetaka bagi kerajaan pasundan.  Dia harus turun ke ibukota untuk berunding dengan Panglima Candraloka dan Ki Mandara, lalu bersama sama kemudian menghadap Sang Permaisuri.

Tampuk kekuasaan kerajaan tidak boleh kosong.  Akan terjadi perebutan kekuasaan jika hal ini lama dibiarkan.

Pendekar tua ini memandang wajah putrinya.  Kuyu, redup, tak ada gairah, tak ada semangat.  Seperti bunga melati yang terlambat mekar. 

"Putriku...tidak ada sesuatupun di dunia ini yang berlaku sempurna.  Pedih, perih, kadang datang pada saat tak diduga.  Terimalah itu sebagai bagian dari langkah hidupmu.  Tetaplah tegar anakku...aku akan mendukung apapun keputusanmu..."

Pendekar Sanggabuana berucap penuh kelembutan.  Dewi Mulia Ratri mengangkat wajahnya.  Matanya menyala, suaranya bergetar beringas,

"Aku putuskan untuk mengasingkan diri di padepokan ini ayah.  Aku akan melatih kesempurnaan semua ilmuku.  Setelah itu, aku akan turun dan meminum darah orang Majapahit satu demi satu...!"

Bersamaan dengan sumpah yang diucapkan pelan dan penuh perasaan tersebut, langit yang tadinya cerah tiba tiba tertutup mendung tebal, dan....blaaaarrr!  sekelebat petir menyambar di atas padepokan.  Langit mendengarkan sebuah sumpah....idu geni! 

Pendekar Sanggabuana memucat sejenak melihat kejadian alam itu.  Namun senyumnya sareh saat melanjutkan perkataan.

"Sudah aku katakan tadi putriku...apapun itu...aku akan mendukungmu...besok aku akan turun ke ibukota.  Mungkin aku akan lama. Aku harus berunding dengan Panglima Candraloka dan Ki Mandara.  Kau tidak perlu mengurus padepokan.  Sudah banyak yang mengurusnya.  Lakukan saja apa yang ingin kau lakukan di sini."

Dewi Mulia Ratri mengangguk dan memaksakan diri untuk tersenyum lemah.  Pendekar Sanggabuana menatap maklum.  Putrinya sedang dihantam badai sunyi.  Dia akan membiarkannya.  Putrinya adalah pendekar yang tangguh. Tidak ada apapun yang tidak bisa di atasinya.  Dia sangat yakin dengan hal itu.

Keesokan harinya, Pendekar Sanggabuana turun ke ibukota.  Pendekar ini mengajak hampir semua anggota padepokan yang sudah dewasa ikut turun. Ini untuk membantu jika saja terjadi kekacauan di istana akibat perebutan kekuasaan setelah Baginda Raja, Putri Mahkota, dan Pangeran Andika Sinatria tiada.

Dewi Mulia Ratri melanjutkan niatnya yang sudah mantap.  Mengasingkan diri di padepokan.  Memperdalam ilmunya hingga sempurna.  Tekadnya sudah bulat.  Dia akan turun setelah yakin dapat pergi ke Majapahit dan membalas dendamnya yang setinggi langit kepada orang orang Majapahit.  

Dia hanya menitipkan pesan kepada ayahnya agar Birawa mengatur Garda Kujang Emas sebaik baiknya mengawal istana.  Apalagi dia juga tahu, entah dimana Putri Anjani sekarang setelah terluka sangat parah di pertempuran Bubat.

---

Kakek kecil kurus itu menurunkan tubuh Putri Anjani di sebuah gua kecil di lereng Gunung Papandayan.  Diperhatikannya gadis yang terluka parah akibat pukulan Maesa Amuk itu.  Jika tidak segera ditolong, nyawanya tidak akan terselamatkan.  Kakek kurus yang tidak lain Datuk Rajo Bumi ini mendudukkan si gadis lalu menyalurkan hawa murni melalui punggungnya.  Beberapa kali Putri Anjani memuntahkan darah kental kehitaman. Pertanda luka dalam di tubuhnya memang sangat parah.

Untuk beberapa lama Datuk Rajo Bumi menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Putri Anjani, hingga akhirnya muntahan darah beku itu terhenti.  Gadis itu masih tetap tak sadarkan diri.  Namun nafasnya sudah mulai teratur.  Tidak lagi tersengal sengal tidak beraturan.  Datuk Rajo Bumi menghela nafas pendek.  Selama ini dia tidak peduli dengan orang lain.  Namun entah mengapa, waktu perang Bubat sedang terjadi dan dia melihat gadis ini hampir tewas,  hatinya tergerak untuk menyelamatkannya.  Dia melihat ada sesuatu pada diri gadis itu. 

Setelah melihat gadis itu sedikit membaik, Datuk Rajo Bumi bersuit kecil.  Seekor harimau hitam legam raksasa berjalan menghampiri dengan patuh. Datuk sakti itu memberikan isyarat agar si harimau menunggui dan menjaga Putri Anjani.  Lalu tubuh kurus kecil itu melangkah masuk ke dalam hutan lebat.

Tak selang berapa lama, Datuk ini sudah kembali sambil membawa daun daunan dan akar akaran.  Selama beberapa saat, Datuk Rajo Bumi sibuk membuat ramuan obat bagi Putri Anjani.  Harimau hitam raksasa itu seperti tahu apa bagian yang harus dikerjakan.  Dia masuk ke dalam hutan mencari binatang buruan.

Tidak ada siapapun di dunia ini yang sanggup menduga apa yang bisa merubah seseorang.  Hanya Sanghyang Widhi yang tahu persis rahasia itu.  

Datuk Rajo Bumi adalah satu di antara datuk nomor satu di dunia persilatan yang paling tidak peduli dengan hubungannya terhadap sesama manusia. Dia berjanji tidak akan mengangkat seorang muridpun.  Niatannya adalah membawa mati semua ilmunya bersamanya.

Namun bertemu Putri Anjani merubah semuanya.  Datuk yang tidak bisa diduga jalan pikirannya itu sekarang berniat mengangkat gadis ini menjadi muridnya.  Dia akan mewariskan semua ilmunya kepada gadis dari laut utara itu.  Dia akan membuat gadis itu menjadi seseorang yang akan menggemparkan dunia persilatan.  

Datuk sakti ini melihat sorot mata penuh dendam, amarah yang tak berkesudahan, di mata gadis itu.  Dia suka. Ini bekal yang hebat untuk menggemparkan dunia.

Selama berhari hari, datuk sesat ini merawat Putri Anjani dari luka dalamnya yang parah. Saat sudah mulai pulih, datuk ini menanyakan kesediaan Putri Anjani untuk menjadi muridnya. 

"Gadis cilik...siapa namamu?  Apakah kamu mau menjadi murid Datuk Rajo Bumi?...aku akan membuatmu menjadi seorang wanita nomor satu di dunia persilatan...aku bisa membuatmu mampu membalas dendam atas apapun yang telah menimpamu..."

Putri Anjani terperangah kaget mendengar ini.  Datuk Rajo Bumi?  Tokoh luar biasa hebat yang jarang menemukan tandingan?  Mau mengangkatnya menjadi murid? Ini luar biasa!

"Aku...Putri Anjani....sangat mau menjadi muridmu Guru! Terimakasih...terimakasih.."

Berulangkali Putri Anjani memberikan sembah takzim kepada Datuk Rajo Bumi.

"Ha ha ha ha....baiklah muridku...Putri Anjani...mulai saat ini kau adalah murid Datuk Rajo Bumi...ha ha ha...begitu kau turun gunung...balaslah dendammu...cabut nyawa orang orang yang telah menyakitimu satu persatu...aku akan menjadi saksi bagi lahirnya maut di dunia ini...."

Putri Anjani mengedikkan kepalanya, amarah menguasai matanya, berkobar kobar seperti api neraka.

"Aku bersumpah...aku akan menghabisi mereka yang telah menyakitiku...dengan kesakitan yang belum pernah ada di dunia ini!..."

"claap..claap...blaaaaarrrr!"

Ucapan Putri Anjani disambut gelegar halilintar yang mendadak datang tanpa pertanda sebelumnya.  Ucapan gadis itu diamini alam sebagai sebuah idu geni.  Sumpah yang akibatnya bisa sangat mengerikan karena alam telah bersedia menjadi saksi. 

Begitulah, semenjak saat itu Putri Anjani dilatih ilmu ilmu dahsyat Datuk Rajo Bumi di lereng Gunung Papandayan. 

---

Arawinda membuka matanya.  Seluruh badannya terasa ringan.  Dia terbaring di sebuah dipan yang sangat sederhana.  Gadis itu bangkit dan duduk, mencoba mengingat apa yang telah terjadi.  Rangkaian peristiwa berkelebatan dalam otaknya.  Pikirannya berkelana pada saat saat dia menyaksikan ayah terlempar terkena pukulan telak Raja Iblis Nusakambangan di dadanya. 

Ayah! Arawinda langsung bangkit berdiri.  Namun tubuhnya langsung sempoyongan hampir jatuh.  Dia teringat benar bagaimana ayahnya meregang nyawa di pangkuannya.  Ooohh Gusti, apa yang terjadi?  Entah berapa lama dia tertidur atau tak sadarkan diri?  Siapa yang telah menyelamatkannya hingga sekarang berada di tempat asing ini?

Arawinda memaksakan diri bangun dan keluar dari ruangan kecil ini.  Ternyata dia berada di sebuah pondok mungil.  Di tebing mengerikan pinggir lautan yang luar biasa indah.  Rasanya lautan ini pernah dia lihat sebelumnya.  Tapi di mana ya?

Aaahhh ini pantai selatan!  Terlihat dari ombak di bawah sana yang berdeburan keras menghantam jajaran karang karang besar.  Tidak salah lagi,  dia pernah ke daerah ini sewaktu masih kecil dahulu.  Ayahnya mengajak berlatih di sini bersama sama dengan Ki Hangkara.  

Ini pantai Ngobaran.  Pantai yang indah namun misterius.  Kabarnya dahulu Ratu Laut Selatan sering datang kesini untuk menerima sesembahan dari penduduk desa sekitar Ngobaran agar hasil laut yang mereka tangkap berlimpah ruah.

Tapi kenapa dia bisa sampai ke pantai yang sangat jauh dari Pesanggrahan Bubat?  Tempat terakhir dia bertempur melawan orang orang Majapahit? Siapa yang telah membawanya kesini?  Apa benar ayahnya sudah tewas?  Atau mungkin hanya terluka saja?  Pikiran pikiran ini berkecamuk di benak Arawinda.

Arawinda terlonjak kaget.  Ternyata jawaban dari semua pertanyaannya sedang berdiri di depannya.  Seorang kakek kurus dengan badan bungkuk tiba tiba saja datang seperti hantu, menatapnya lembut melalui matanya yang luar biasa tajam.

"Kamu sudah siuman nak...pukulan batin yang kamu terima memang luar biasa.  Ayahmu sudah meninggal nak...aku yang membawamu kesini.  Aku ingin memberikan sebuah pengharapan bagimu dengan mengajarimu sedikit ilmu..."

Gadis dari Lembah Mangkubumi ini tertegun.  Ayahnya benar telah tewas.  Kakek bungkuk di depannya ini telah menyelamatkan hidupnya.  Dan kakek bungkuk ini berniat mengangkatnya jadi murid.

Kakek bungkuk? Si Bungkuk?  Si Bungkuk Misteri?  Arawinda hampir terjungkal saking terperanjatnya terhadap semua kenyataan ini.  Si Bungkuk Misteri adalah dewanya dunia persilatan.  Ilmunya seperti tanpa batas.  Dan dewa ini hendak mengajarinya ilmu kanuragan?

Buru buru gadis ini menjatuhkan diri berlutut.

"Guru...sebuah kehormatan bagiku bisa menerima petunjuk darimu...terimalah hormat dari muridmu..."

 Si Bungkuk Misteri menggerakkan tangannya ke atas.  Arawinda yang sedang berlutut terbawa oleh kekuatan dahsyat yang tidak nampak mata, hingga dia berdiri lagi tanpa bisa ditahannya.

"Bangunlah nak...aku mempunyai banyak sekali murid.  Ada yang baik..ada yang jahat...ada yang bahkan seperti iblis....itu semua sudah bagian dari tugasku untuk membantu menjaga keseimbangan...kamu adalah muridku yang kesekian...aku lupa.  Aku akan mengajarimu ilmu pukulan Aguru Bayanaka.  Pukulan yang mendasarkan diri pada unsur kayu.  Pelajarilah baik baik nak.  Ilmu ini cocok dengan dasar dasar ilmu yang telah kamu pelajari.  Apa yang akan kamu lakukan sepergimu dari sini nanti?"

Arawinda menatap gurunya, menghela nafas panjang, lalu mendongak menatap langit.  Matanya yang jernih memerah seperti saga.

"Aku akan membalas dendam kematian ayahku guru...aku akan mencari si Raja Iblis Nusakambangan dan menghancurkan Lawa Agung!  Aku juga akan menuntut balas kepada Majapahit yang telah membunuh paman guruku!...aku tidak akan berhenti sampai bisa mewujudkan niatku!"

Sebuah sumpah dari seorang gadis yang dipenuhi dendam mendapat sambutan dari lautan. Sebuah gulungan ombak yang luar biasa besar menghantam karang di bawah dengan keras.  Menimbulkan suara gemuruh tak habis habis beberapa saat.  Ini tidak lazim.  Alam kembali menjadi saksi dari keluarnya sumpah...idu geni!

Si Bungkuk Misteri mengrenyitkan alisnya yang putih.  Sekilas ada kekagetan di wajah rentanya.  Namun kakek luar biasa sakti ini mengangguk angguk maklum sambil menghela nafas panjang. 

"Itu adalah keputusanmu nak...aku tidak bisa mencegahnya.  Semoga Sanghyang Widhi mencerahkan pikiranmu kelak.."

Mulai hari itu, Arawinda berguru kepada tokoh misterius dunia persilatan Si Bungkuk Misteri.  Sebuah peruntungan yang luar biasa bagi seorang gadis muda yang sedang berpedih hati.

---

Bimala Calya menyelesaikan kegiatan masak memasaknya di Padepokan Segoro Langit Ki Biantara.  Sudah beberapa purnama dia tinggal di padepokan ini.  Sambil membersihkan peralatan masak yang telah selesai dipergunakan, gadis ini melamunkan saat saat dirinya pingsan pada kejadian dahsyat di Puncak Merapi dulu.  

Dia hanya mendengarkan cerita dari Ardi Brata apa yang terjadi setelah kematian Dyah Puspita yang menggiriskan hati.  Dia masih teringat bagaimana terpukulnya Arya Dahana.  Wajah sedih dan hampa pemuda yang disayanginya itu.  Dia juga masih mengingat persis bagaimana terpukulnya perasaannya melihat langsung kematian Dyah Puspita di pangkuan Arya Dahana.

Ketika dia terbangun dari pingsannya di gendongan Ardi Brata.  Pemuda itu menceritakan semuanya.  Ardi Brata juga bercerita mengenai pesan Arya Dahana yang menitipkan dirinya ke tangan pemuda itu sementara Arya Dahana menuntaskan pesan terakhir Dyah Puspita untuk menguburkan dirinya di gua Danu Cayapata.

Awalnya Bimala Calya berkeras untuk pergi menyusul Arya Dahana.  Namun Ardi Brata berhasil meyakinkan dirinya bahwa gua itu sangat misterius dan tidak diketahui letaknya secara persis, kecuali orang orang yang pernah secara tidak sengaja masuk ke dalamnya.

Bimala Calya akhirnya mengerti.  Lalu mengikuti Ardi Brata kembali ke Padepokan Segoro Langit yang dipimpin oleh Pendekar Pena Menawan.  Di padepokan itu, Bimala Calya menghabiskan waktunya dengan berlatih bersama Ardi Brata.  Ki Biantara yang mendengar kisah gadis ini kemudian merasa iba dan akhirnya mengangkatnya sebagai murid.

Jadilah Bimala Calya memperdalam ilmu ilmu yang diajarkan langsung oleh Ki Biantara.  Saat terjadi ontran ontran besar di Pesanggrahan Bubat, gadis ini mendengar cerita yang menghebohkan dari orang orang padepokan yang pulang dari tugasnya sebagai prajurit Sayap Sima. 

Bimala Calya merinding mendengar cerita yang menyedihkan tentang kematian Raja dan putra putri Galuh Pakuan.  Lebih merinding lagi ketika mendengar pertempuran dahsyat habis habisan yang menewaskan semua orang orang Galuh Pakuan kecuali Ki Gularma dan Dewi Mulia Ratri.  

Hatinya bergetar hebat waktu cerita sampai pada betapa Arya Dahana datang dan membuat mundur ayah angkatnya Panglima Kelelawar.  Matanya berkaca kaca ketika mendengar betapa Arya Dahana menggali semua makam dan menguburkan semuanya seorang diri.  

Dadanya ikut berkembang bangga waktu cerita itu sampai pada dahsyatnya pemuda pujaannya itu menghancurkan panggung besar Pesanggrahan Bubat agar bisa membuat makam yang layak untuk keluarga Kerajaan Galuh Pakuan.

Waktu orang itu bercerita pertempuran lanjutan yang terjadi antara Arya Dahana melawan Ki Tunggal Jiwo dan Madaharsa.  Hati gadis itu ikut mendidih.  Ingin rasanya saat itu dia ada di sana dan membantu pemuda itu melawan orang orang Majapahit.  

Duuuhhh Gusti, aku merindukannya.  Demikian desis pilu pikiran Bimala Calya.  Aku akan mencarinya sampai ketemu begitu aku menyelesaikan pelajaranku di sini.  Aku harus mempunyai bekal yang cukup kuat.  Dunia persilatan sangat kejam.  Tidak peduli kepada laki laki maupun wanita.  

Terlalu banyak orang jahat berkeliaran dan terlalu banyak kerajaan yang saling bersitegang sehingga kericuhan dan perang bisa terjadi dimana saja dan kapanpun juga.

Dengan tekad seperti itu, Bimala Calya rajin sekali berlatih.  Dasar gadis yang sangat berbakat.  Kemajuannya sangat pesat.  Sekarang dia bahkan sudah bisa menandingi kelihaian Ardi Brata. 

Pendekar Pelajar diam diam selalu memperhatikan gadis cantik ini.  Beberapa purnama berkumpul bersamanya di padepokan membuat pemuda ini mulai dihampiri rasa suka yang aneh.  Aneh karena hatinya sebenarnya sudah terpaut kepada gadis sunda yang jelita itu, Dewi Mulia Ratri.  Namun hatinya juga menyuruh untuk selalu memperhatikan Bimala Calya.  Hatinya seperti terbelah dua.  Ini membingungkan. 

Pemuda ini juga bertekad dalam hati akan menemani Bimala Calya jika masih berkeras untuk mencari Arya Dahana kelak.  Selain menjaga keselamatannya, dia juga tidak sanggup jika harus berpisah lama lama dengan gadis Lawa Agung ini.  Bimala Calya sendiri tidak keberatan dengan niat Ardi Brata untuk menemaninya.  Yang paling penting dia bisa menemukan Arya Dahana.  Itu saja.

---

Ayu Wulan terkejut saat terbangun dari tidurnya.  Dia merasa asing dengan tempat ini.  Kamarnya ini adalah sebuah kamar yang indah.  Tidak seperti kamarnya di pondok Alas Roban.  Gadis ini termangu mangu.  Dia teringat neneknya berpesan lirih kepadanya saat mereka semua menaiki kapal besar di pantai Sukabumi. 

"Jangan melawan nduk...aku akan mencari cara agar kita bisa lepas dari orang orang biadab ini.  Mereka akan membawa kita ke markas mereka di pulau yang terkutuk itu.  Sangat sulit untuk melarikan diri dari sana.  Pulau itu sangatlah berbahaya.  Bersabarlah nduk.."

Dan di sinilah dia sekarang.  Di sebuah kamar yang mewah.  Dia tidak tahu di mana neneknya Nyai Genduk Roban berada.  Dia harus bertahan hidup sesuai pesan neneknya.  Dia akan berlatih ilmu ilmu yang diajarkan oleh Dyah Puspita.  Belum banyak memang yang sudah diajarkan.  Ilmu yang sudah diajarkan adalah pukulan Braja Musti tingkat dasar.  Dia akan mengasahnya dengan berlatih keras.  Karena betapa pun hebatnya sebuah ilmu jika tidak diasah dan dilatih, akan percuma saja.

Selain itu, di tempat terpencil ini, dia juga akan tekun melatih ilmu ilmu sihir yang diajarkan oleh neneknya.  Ilmu sihirnya sudah cukup tinggi. Neneknya adalah datuk sihir yang luar biasa.  Jika dia berlatih keras, dia akan menjadi seorang ahli sihir yang mumpuni.  

Pada saatnya nanti dia akan melarikan diri atau melawan sampai mati.  Dia tahu bahwa dirinya dijadikan sandera agar Nyai Genduk Roban mau bekerjasama dan tunduk terhadap perintah Panglima Kelelawar. 

Ayu Wulan melangkahkan kaki keluar kamar.  Seorang penjaga mengangguk kepada gadis itu.  Saat Ayu Wulan menyampaikan keinginannya untuk berjalan jalan keluar.  Si penjaga mengiyakan namun memberi isyarat bahwa gadis itu akan selalu ditemani oleh satu regu pengawal kemanapun dia pergi.

Ayu Wulan tidak punya pilihan lain.  Dia segera melangkah keluar rumah yang ternyata adalah sebuah istana kecil untuk tamu.  Pulau ini cukup besar dan luas.  Di sana sini nampak bangunan bangunan megah dan indah.  Ini bukan markas biasa.  Ini mirip dengan Trowulan yang pernah didatanginya.  

Di depan sebuah lapangan  yang sangat luas, berdiri dengan angkuh dan megah sebuah istana yang besar.  Istana kerajaan Lawa Agung.  Istana tempat Panglima Kelelawar memerintah kerajaan baru yang nyempal dari kekuasaan Galuh Pakuan.

Ayu Wulan terus melangkahkan kaki.  Semua bangunan yang ada di sini sangat indah dan cantik.  Ditata sedemikian rupa sehingga sangat menarik hati bagi siapapun yang memandang.  

Taman taman luas dan hijau.  Penuh bunga bunga berwarna warni.  Jalanan juga berbatu.  Bukan jalan tanah yang becek atau berdebu.  Ayu Wulan sampai terbengong bengong menyaksikan semua ini.  Bahkan taman taman di istana Trowulan masih kalah dibanding kecantikan taman taman di kerajaan baru ini.

Di kejauhan, di beberapa puncak bukit bukit karang, berdiri kokoh menjulang benteng benteng pertahanan sekaligus markas para pasukan Lawa Agung.  Pulau ini akan sulit di serang dengan diam diam.  Bukit bukit karang yang mengelilingi pulau, berdiri markas markas pasukan dan pos pos pengintaian.  Selain itu, keseluruhan kompleks istana ternyata dikelilingi oleh tembok tembok pertahanan yang kuat dengan prajurit jaga yang selalu berkeliling dalam jumlah besar.

Mata Ayu Wulan berhenti di sebuah bangunan aneh dan unik di tepian pantai.  Bangunan indah itu tidak dilindungi dengan benteng pertahanan.  

Bentuknya seperti tempat pemujaan namun dibuat dengan sangat cantik.  Persis terletak di jalanan menuju ke pantai atau pelabuhan dimana kapal kapal besar pengangkut pasukan milik kerajaan berbaris rapi.

Yang membedakan lagi bangunan tempat pemujaan itu dengan bangunan yang lain adalah banyaknya bunga melati yang ditanam di sekelilingnya. Tidak ada jenis bunga bunga lainnya.  Hanya melati.  Dan sepertinya cukup ajaib!  Bunga bunga itu bermekaran meski ini siang hari.  Wanginya menebar di udara seluruh pulau.  Membuat suasana cukup menjadi mistis dan gaib.  Karena kabarnya bunga melati sangat disukai oleh penguasa laut selatan.

Ratu Laut Selatan! Ingatan ini seperti membangunkan ingatan Ayu Wulan.  Selama ini dia banyak mempelajari hal hal yang berkaitan dengan sihir dan dunia gaib.  Dia juga mendengar desas desus yang mengatakan bahwa kerajaan sempalan ini didukung oleh Ratu Laut Selatan.  Jadi pantas saja ada tempat pemujaan yang dipenuhi oleh bunga melati di sini!

Ayu Wulan terus melangkahkan kaki.  Dia sampai di bibir pantai sebelah pelabuhan.  Diliriknya satu regu pengawal itu masih mengikutinya dengan setia dari belakang.  Gadis ini mencoba usil dengan merapalkan sihir agar dirinya nampak menjadi dua orang.  

Tidak terjadi apa apa.  Ah tempat ini ternyata dilindungi pula oleh sihir tingkat tinggi.  Tidak ada yang bisa melepaskan sihir di sini kecuali sihir pelindung itu dibuka.  Wah luar biasa.  Tempat ini akan sangat susah sekali ditembus oleh pasukan penyerang manapun.

Bahkan Ayu Wulan sangat yakin sekali.  Pulau ini juga dilindungi oleh sihir penyesat bagi siapapun yang tidak dikehendaki akan menuju pulau ini.  

Siapapun yang melindungi pulau dengan sihir sekuat dan seluar biasa ini pastilah tingkat ilmu sihirnya setinggi langit.  Mungkin malah bersentuhan dengan dunia gaib.  Neneknya yang ahli sihir tingkat tinggi pun tidak akan mampu melakukan sihir sihir ajaib ini.  Ayu Wulan bergidik ngeri.  Siapa lagi yang bisa melakukan ini semua kalau bukan Ratu Laut Selatan?

Jadi bagaimana caranya dia bisa lolos dari pulau ini?  Pikiran ini membuat Ayu Wulan sedikit merasa putus asa.  Dia tidak mempunyai kepandaian kanuragan yang cukup.  Dia hanya bisa melakukan sihir yang lumayan.  Tapi setelah memeriksa tempat ini dan menemukan sihir sihir pelindung ternyata melingkupi pulau dengan kuat, tak mungkin dia bisa lolos dengan cara ini.

Satu satunya cara adalah membiarkan Sanghyang Widhi ikut campur tangan.  Dia akan berdo'a siang malam agar diberikan jalan.  Pertolongan dari luar bisa saja terjadi.  Atau terjadi perang dahsyat di pulau yang memusnahkan semua sihir pelindung ajaib ini.

**
Bersambung Bab III

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun