Tapi harimau itu tidak pada posisi mengancam atau hendak menyerang. Â Binatang perkasa itu malah mengangsurkan sesuatu dari mulutnya kepada Dyah Puspita. Â Sebuah gulungan daun lontar kering. Â Dyah Puspita mengambilnya cepat cepat. Â Dibacanya surat itu dengan hati tercekat;
"Perempuan, aku bawa anak ini untuk proses pengobatan selanjutnya. Â Dia hanya akan normal kembali jika bisa menyatukan hawa yang saling bertentangan dalam tubuhnya. Â Jika tidak mendapatkan pengobatan yang utuh, maka jarak antara hidup dan matinya sangatlah tipis setiap harinya. Â Kau boleh mencarinya ke sini setiap tahun. Â Dan membawanya pergi jika dia sudah sembuh. Â Aku akan selalu di sini pada purnama ke 1 setiap tahunnya. Â Salam untuk ayahmu."
Dyah Puspita tenggorokannya tercekat. Â Matanya berkaca kaca. Â Dia merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Â Dia tak tahu harus gembira atau bersedih. Â Sejak kejadian di Alas Garahan, dia merasa hatinya begitu dekat dengan anak itu. Â Anak sebatangkara yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Â
Sambil menghela nafas panjang, dia berpaling ke harimau putih besar itu yang ternyata telah berlari menjauh menuju bawah gunung. Â Diapun menggerakkan tubuhnya meninggalkan tempat itu menuju ibukota Majapahit.
*****