Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air dan Api, Lahirnya Air dan Api

7 Desember 2018   00:19 Diperbarui: 7 Desember 2018   06:20 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari itu Dewi Mulia Ratri mendapatkan tugas dari ayahnya untuk mengantarkan surat dari padepokan Sanggabuana ke Ibukota Kerajaan.  Surat itu harus disampaikan langsung ke tangan Panglima Candraloka.  Pendekar Sanggabuana tidak bisa mempercayai orang lain untuk mengantar surat sepenting itu selain putrinya.  Dewi Mulia Ratri sudah sanggup menjaga dirinya sendiri.  Tingkat kesaktiannya sudah sangat mumpuni.  Pernah suatu ketika, saat Dewi Mulia Ratri masih berusia sekitar tiga belas tahun, Padepokan Sanggabuana mengadakan uji tanding dengan seluruh padepokan di lingkungan Kerajaan Galuh Pakuan.  Tidak ada satupun utusan dari dua puluh padepokan yang bisa menandingi kecakapannya bertempur!  Meskipun lawan yang dihadapinya rata-rata jauh lebih tua sepuluh tahun darinya. 

Dewi Mulia Ratri menghentikan langkahnya.  Pintu gerbang istana sebenarnya sudah tak jauh dari hadapannya.  Namun dia tertarik melihat sebuah kerumunan di ujung alun alun itu.  Dia menyelinap di antara orang orang yang berdesakan, ingin tahu apa yang terjadi. Ada sebuah panggung terbuka cukup besar di sana.  Sepertinya sebuah gelanggang untuk beradu tanding ilmu kanuragan.  Di belakang panggung terdapat deretan tempat duduk yang sepertinya untuk orang orang penting dari istana. 

"Ayo...ayo...pasang taruhanmu....siapa yang bisa bertahan melawan Pangeran Andika Sinatria selama lebih dari lima jurus akan dijadikan calon pengawal istana...!"

"Daftar di sini...di hulubalang istana..."

"Cepat...cepat...ujian akan segera dimulai!"

"Yang sudah daftar harap berbaris di sebelah kiri panggung..."

Dewi Mulia Ratri semakin tertarik.  Matanya berbinar binar cerah.  Pengalamannya turun gunung padepokan tidak akan sia sia hari ini.  Sebelum menyerahkan surat itu, dia akan menonton dulu acara ini hingga puas.  Tunggu dulu, kenapa cuma menonton?  Dia segera bergeser ke tempat pendaftaran.

"Dewi Mulia Ratri...Padepokan Sanggabuana...urutan ke berapa?"

Hulubalang pendaftaran mengangkat mukanya.  Dahinya berkerut penuh tanya,"Neng, ini pertandingan serius yang bisa menyebabkan luka sungguhan.  Jangan main main..."

Dewi Mulia Ratri mencengkeram ujung meja sambil mendelik ke arah hulubalang. Diremasnya ujung meja yang terbuat dari kayu jati sekeras marmer itu. Hulubalang itu membelalakkan matanya ketakutan,"baiklah baiklah...Dewi Mulia...urutan ke 25."  Dewi Mulia Ratri menyunggingkan senyum simpul dan berlalu sambil meniupkan serpihan kayu itu ke arah hulubalang.  Meja itu sekarang tidak lagi berbentuk bulat sempurna.  Salah satu ujungnya hancur selebar seperdelapan meja. 

Peserta pertama yang dipanggil segera melompat ke atas panggung.  Seorang pemuda kekar berewokan tinggi besar.  Dewi Mulia Ratri bengong tak berkedip ketika dilihatnya seorang pemuda tinggi gagah berusia dua puluhan juga ikut melompat ke atas panggung dari deretan kursi belakang.  Jadi inilah Pangeran Andika Sinatria yang terkenal itu.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun