Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air dan Api, Lahirnya Air dan Api

5 Desember 2018   06:02 Diperbarui: 5 Desember 2018   09:17 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dewi Mulia Ratri segera berlari menuju ruang latihan tanpa ba bi bu lagi.  Gadis kecil itu selalu tertarik terhadap hal hal baru.  Terutama yang mempunyai sangkut paut dengan sihir dan ilmu kanuragan.

Langkahnya terhenti tiba tiba karena dilihatnya seorang pemuda kecil sedang berjalan pelan diiringi oleh seorang pemuda tanggung bertubuh tegap menuju ruang latihan.  Agak jauh di belakang berjalan dua laki laki tinggi besar berwajah sangar dengan sikap waspada.  "Hmmm, pangeran manja itu kemana mana selalu diikuti dayang dayang jeleknya." Pikiran Dewi Mulia Ratri berputar seperti gasing bermesin.  Sambil tersenyum simpul dia mengendap endap di belakang mereka.  Diambilnya sebatang ranting kecil, dipejamkannya mata sambil komat kamit dan seekor ular kecil aneh dengan kepala yang sangat besar sekarang ada di tangannya.  Menggeliat geliat, menjulurkan lidah yang anehnya tidak bercabang.

Mengerahkan sedikit tenaga.  Dilemparkannya ular itu di depan pemuda kecil itu.  Pangeran kecil berwajah bersih dan tampan itu terlompat kaget saat tiba tiba di depannya muncul seekor ular aneh.  Wajahnya memucat, bibirnya bergetar.  Tubuhnya terdiam terpaku.  Mulutnya tergagap gagap,

"Astanaaaaaaa.....Sandakaaaaa...Sandikaaaa... ttttoooloongg....!!"

 Pemuda tanggung berbadan tegap yang dipanggil Astana melompat ke depan Pangeran Bunga.  Tubuhnya yang sudah bersiaga, menegang melihat pemandangan ganjil di depannya.  Wujud ular aneh itu semakin lama semakin membesar.  Sebelumnya hanya seukuran ibu jari, kini menjadi sebesar paha orang dewasa.  Dua raksasa pengawal Pangeran Bunga juga telah berlarian ke depan Pangeran Bunga.  Dua raksasa kembar pengawal istana yang berilmu tinggi itu kini juga terperangah kaget.

Akan tetapi dengan sigap Sandaka dan Sandika mencabut pedang besar dari pinggang masing-masing dan siap menyerbu sang ular yang sekarang menegakkan tubuhnya yang semakin membesar hingga seukuran pohon pepaya.  Dengan ngeri, Pangeran Bunga, Astana, Sandaka dan Sandika, melihat ular itu berubah menjadi naga! Api menyembur-nyembur dari kedua lubang hidungnya yang besar.  Matanya merah menyala.  Kedua taringnya meneteskan lendir berbau busuk dengan warna merah semerah darah.


Dewi Mulia Ratri yang melihat dari kejauhan melongo saking tak percaya dengan hasil perbuatannya.  Selama ini dia belajar ilmu sihir dari paman kakeknya di pesisir Cilamaya, Ki Rangga.  Dia bisa merubah tali menjadi cacing.  Potongan kapas menjadi burung kecil.  Bahkan selembar kain menjadi permadani.  

Tapi dia tak menyangka sama sekali bahwa ilmu sihirnya sudah setinggi ini!  Merubah ranting kering menjadi naga! Dada Dewi Mulia Ratri membusung bangga, nafasnya kembang kempis dengan pongah.  Dia menggerakkan kedua tangannya untuk merubah naga itu ke wujud semula. Karena dilihatnya kehebohan ini telah menjalar ke seantero padepokan.  Banyak orang berkumpul menyaksikan kejadian langka ini.  Dia takut ayahnya akan marah besar melihat kelakuannya. 

Alangkah kagetnya Dewi Mulia Ratri ketika naga raksasa itu tidak terpengaruh dengan lambaian tangan sihirnya.  Bahkan sang naga kini beralih menatap ke arahnya dengan garang dan penuh amarah.  Dewi Mulia Ratri menjerit ngeri ketika naga itu tiba tiba menyemburkan api dari mulutnya dan menyerangnya dengan ganas.  Dewi Mulia Ratri menggulingkan tubuhnya menghindari api yang panas membakar itu.  Kemudian menegakkan tubuh, melepas ikatan rambutnya yang berbentuk burung rajawali.  Mengerahkan seluruh kekuatan pikiran dan sihirnya.  "Berubahlah menjadi rajawali raksasa....,  makan ular jelek itu!"  begitu kekuatan sihirnya memerintah.  

Dan berubahlah ikat rambut itu menjadi.....burung pipit pemakan padi, yang langsung bercicit terbang menjauh karena ketakutan. 

Naga itu bergerak mendekati Dewi Mulia Ratri.  Dengusan amarahnya terlihat semakin menghebat.  Asap yang keluar dari hidungnya semakin tebal dengan warna putih kemerahan.  Dewi Mulia Ratri yang biasanya tak kenal takut, kini mencelos penuh kengerian.  Memandang pasrah karena dia tahu tak ada gunanya melawan sihir yang di luar jangkauan kemampuannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun