Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air & Api-Lahirnya Air dan Api

4 Desember 2018   14:59 Diperbarui: 5 Desember 2018   09:16 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Madaharsa menimpali; "Paduka Arya Prabu yang hebat.  Perkenankan saya menawarkan sesuatu kepada paduka.  Menyerah dan pengadilan kerajaan akan memutuskan hukuman paduka atau pilih melawan kami yang paduka tahu tidak bisa paduka menangi."

Argani juga tidak mau kalah gertak, suaranya lirih dan bergetar namun mengandung kekuatan menaklukkan karena diam diam dia menyisipkan sihir penakluk;

"Sima Agung, aku sudah lama tahu bahwa kau tidak suka kami bergabung dalam Sayap Sima.  Aku juga tahu bahwa kau adalah menantu ponakan Raja Blambangan.  Tapi aku tidak takut.  Kau dulu pernah mengalahkan aku dalam adu tanding kanuragan di istana. Tapi aku yakin sekarang bisa mengalahkanmu dengan mudah.  Benar apa yang dikatakan gadis cantik ini.  Sebaiknya kau menyerah dan aku hanya akan mencopot sebelah kakimu saja".  Udara di sekeliling tokoh-tokoh yang akan bertempur itu mendadak menipis dan pasti akan membuat sesak nafas bagi siapapun yang tidak memiliki daya linuwih yang cukup.  Sihir Penakluk memang dahsyat.  Selain mengandung kekuatan tenaga dalam yang kuat, juga disisipi oleh mantra hitam yang hebat.

Tapi hal ini sepertinya tidak terlalu berpengaruh pada Arya Prabu.  Tongkatnya berubah menjadi kemerahan seperti nyala api.  Inilah yang membuat Arya Prabu sangat terkenal dahulu.  Ajian Geni Sewindu yang menjadi andalannya sekarang dikeluarkan sepenuhnya.  Selain tongkatnya yang menyala terang, tangannya pun diselimuti oleh api berwarna kebiruan.

"Dyah Puspita.  Aku tidak mau mencari permusuhan denganmu.  Apakah kau tahu bahwa yang dituduhkan sang Mahapatih itu tidak benar.  Beliau termakan isu yang dihembuskan oleh cecunguk centil pesolek itu." Ujarnya sembari menuding marah ke arah Madaharsa.

"Paduka Paman, para telik sandi  kerajaan telah lama mengikuti gerak gerik Paman.  Kami sudah mengumpulkan banyak informasi tentang kedekatan Paman dengan Kerajaan Blambangan.  Juga rencana besar Kerajaan Blambangan untuk mengacau kekuasaan Majapahit.  Dan itu didukung oleh Paman."  Dyah Puspita menjelaskan dengan ringkas sambil mulai mempersiapkan diri.

"Paduka Paman adalah keluarga dekat kerajaan.  Mengingat hal itu dan bahwa Paman juga pernah dekat dengan Paduka Mahapatih, maka ampunan kerajaan bisa diberikan jika Paman mau ikut kami dengan sukarela dan bersedia membeberkan apa rencana besar Kerajaan Blambangan terhadap Majapahit.......Kami juga..........

"Dukk...Dukk...Dukk..."

Belum selesai kalimat Dyah Puspita, tiba tiba Aswangga melayangkan sebuah pukulan hebat ke arah Arya Prabu. Tubuhnya yang gendut melayang ringan mengitari Arya Prabu.  Luar biasa memang.  Tubuh segendut itu ternyata sangat ringan ketika menggerakkan diri bertempur.  Bayangannya berkelebatan mengirimkan banyak pukulan mematikan.  Muncul asap hijau kehitaman di lengannya.  Tanda Aswangga mengeluarkan Pukulan Wedhus Gembel yang mengerikan.  Arya Prabu menandinginya dengan kecepatan yang tak kalah mengejutkan.  Lengannya yang diselubungi api menangkis dengan cepat semua pukulan mematikan itu. Bahkan mampu mendesak mundur dan membuat kerepotan Aswangga. 

Bayangan lain berkelebat mengirimkan pukulan yang mendesis desis.  Argani membantu Aswangga dengan mengerahkan ajiannya yang dinamakan Pukulan Racun Timur.  Suara desisan pukulan itu diikuti bau tengik memuakkan hidung.  Lawan yang tangguhpun akan terpengaruh oleh bau racun yang diambil dari saripati kalajengking berbisa itu.  Tapi Arya Prabu dengan tenangnya melayani dua lawan hebat ini. 

Api sekarang tidak hanya membungkus lengannya.  Seluruh badan Arya Prabu diselimuti api yang menyala nyala.  Herannya bungkusan yang digendong di punggungnya tidak ikut terbakar.  Tiga orang yang sedang bertempur itu tidak nampak lagi wujudnya.  Hanya bayangan berkelebatan, daun daun beterbangan, asap hitam, hijau dan api kemerahan saja yang nampak mata. Arya Prabu sekarang hanya bisa mengimbangi saja pukulan-pukulan lawan.  Selain lawan lawan yang sangat berat, bungkusan besar di punggungnya membuat gerakannya terbatasi.  Dia mengkhawatirkan keselamatan putranya yang ada dalam bungkusan di punggungnya.  Hebatnya, dia tidak mendengar putranya menangis atau menjerit-jerit ketakutan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun