Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air & Api-Lahirnya Air dan Api

4 Desember 2018   14:59 Diperbarui: 5 Desember 2018   09:16 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat kidung sunyi meratapi rapuhnya dinding hati
Saat itu pula angin malam berlari pergi
Ketika angkara datang menjemput kebaikan
Ketika itu juga bumi meneteskan air mata kesepian
Kala terpisah paksa karena berkuasanya kejahatan
Kala itu lah matahari memilih untuk kemalaman
Waktu adalah perhiasan yang diberikan Tuhan
Waktu jua lah yang seringkali mencuri kasih kita kepada Tuhan

Bab I

Jati Pasir.  Sebuah desa yang sunyi.  Malam ketika bulan sedang memamerkan tubuhnya yang sempurna.  Angin juga bertiup begitu lambat. Selambat sebuah bayangan yang berjalan mengendap endap di pelataran sebuah rumah kecil dengan pelataran yang luas.  Sosoknya tinggi dan ramping.  Sosok tubuh seorang gadis.  Sebilah belati panjang terselip di pinggangnya.  Langkah kakinya yang sangat ringan membawanya mendekat ke arah pintu yang tertutup rapat.  Dirapatkannya telinga ke dinding anyaman bambu itu. Pendengarannya dipertajam, karena lirih sekali terdengar desahan nafas orang yang sedang tertidur.  Setelah merasa yakin hanya ada 2 orang yang sedang tertidur di dalam rumah itu. Gadis itu kemudian mencabut sesuatu dari balik pinggangnya.  Benda kecil berbentuk pipih dengan pegas di sisi luarnya.  Membidik ke arah angkasa, dan...

"Wuuussss....."

Sebuah sinar kecil berwarna kemerahan membelah udara.  Meledak dan membesar di angkasa tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.  Sebuah suar isyarat. Wanita itu melangkah hati-hati sambil memperhatikan arah tempat dia datang tadi.  Dari kejauhan, berkelebat cepat beberapa sosok berseragam kerajaan.  Melihat dari caranya berlari.  Pastilah tiga orang itu orang orang yang berilmu tinggi.  Saat tiga bayangan itu telah mendekat, nampaklah bahwa betapa mencolok perbedaan di antara mereka.  

Orang pertama bertubuh tinggi kurus dengan hidung bengkok seperti burung hantu bernama Argani.  Sering disebut sebagai Iblis Jompo Laut Timur. Tokoh persilatan berilmu tinggi yang telah mengabdikan hidupnya pada kerajaan Majapahit sejak masih muda.  Terkenal dengan kekejaman dan kelicikannya, akan tetapi tetap dipercaya oleh Mahapatih Gajahmada karena kerajaan sangat membutuhkan orang orang berilmu tinggi yang setia pada kerajaan.  

Orang kedua bertubuh luar biasa gendut.  Saking gendutnya, baju yang dikenakannya tidak bisa terkancing rapat sehingga tampaklah perutnya yang telanjang.  Aswangga dikenal sebagai tokoh sakti dunia persilatan yang dijuluki Bangka Sakti Merapi.  Orang ketiga sangat berkebalikan dengan dua pertama yang tidak karuan bentuknya.  Seorang pemuda tampan berwajah bersih.  Sangat rapi dan perlente.  Tokoh yang dikenal sebagai pemetik kembang di dunia persilatan.  Punya ilmu kanuragan yang tinggi.  Namanya Madaharsa dan biasa disebut dengan Hidung Belang Pesisir Barat.  Tiga orang ini adalah tangan kanan Mahapatih Gajahmada di kalangan persilatan.

Secepat datangnya, ketiga orang ini segera bergabung dengan wanita tadi.  Setelah diperhatikan dalam temaram lampu, adalah seorang gadis belia yang cantik.  Berbaju ringkas hitam hitam.  Khas baju telik sandi Kerajaan Majapahit.  Seorang wanita muda kepercayaan Mahapatih Gajahmada dari kalangan pasukan kerajaan bernama Dyah Puspita.

Kala itu, Mahapatih Gajahmada menciptakan sebuah struktur pasukan yang sangat lengkap.  Pasukan reguler yang dikepalai oleh seorang Panglima Perang Pertama. Pasukan khusus pengawal kerajaan yang dipimpin juga oleh seorang Panglima Kerajaan Pertama.  Pasukan Sayap Sima adalah pasukan yang dibentuk dengan anggota dari dunia persilatan yang telah bersumpah setia kepada kerajaan dan dipimpin oleh seorang resi bernama Ki Tunggal Jiwo.  Tokoh dunia putih yang terkenal sakti mandraguna dari Padepokan Suralaya.  

Di bawah Ki Tunggal Jiwo ada lima orang penting yang terdiri dari tokoh dunia hitam dan putih, yaitu Argani, Aswangga, Madaharsa, Ki Biantara yang dijuluki Pendekar Pena Menawan, dan Sanjaya Huntara dengan julukan Laksamana Utara.  Kemudian yang terakhir adalah pasukan telik sandi yang dipimpin oleh Dyah Puspita, wanita cantik anak tunggal dari Ki Tunggal Jiwo.

Bisa dibayangkan betapa pentingnya orang yang sedang mereka satroni sekarang.  Hingga empat orang tokoh penting Mahapatih Gajahmada harus turun langsung menghadapinya.  Keempatnya sekarang membentuk formasi melingkar di sekitar rumah agar tidak ada kesempatan melarikan diri bagi penghuninya.

"Arya Prabu!! Keluarlah!...Kisanak sudah terkepung! Tidak ada gunanya melawan atau melarikan diri.  Kami utusan dari Mahapatih Gajahmada ditugaskan untuk membawamu hidup atau mati!"

Dyah Puspita mengeluarkan peringatan dengan suaranya yang melengking tinggi.

Terdengar gerakan dari dalam rumah. Seperti seseorang sedang berkemas dengan cepat dan tergesa gesa.

"Brakkkk.....Blaarrr....."  Atap rumah jebol dan melesatlah sesosok bayangan tinggi dengan menggendong sesuatu di punggungnya di atas atap.  Melihat ke sekeliling dengan penuh kewaspadaan. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat berwarna keemasan.

"Hmmm...Dyah Puspita.  Aku sudah lama mengenal dan sangat menghormati ayahmu.  Kenapa kau harus datang ke rumahku dan membawa begundal-begundal hitam ini?  Seandainya kau datang sendiri, mungkin aku masih bersedia berunding dengan damai."

Laki laki yang dipanggil Arya Prabu itu berkata dengan lantang.  Berumur hampir setengah baya.  Berperawakan tinggi kurus dan terlihat berwibawa.  Tongkatnya yang berwarna keemasan menyala terang karena Arya Prabu sedang mengerahkan aji kanuragannya.

Dyah Puspita agak bergidik melihat tongkat itu.  Dia tahu bahwa yang dihadapinya ini bukanlah orang sembarangan.  Arya Prabu adalah keluarga kerajaan Majapahit.  Bekas pimpinan Sayap Sima dua puluh tahun yang lalu dan dijuluki Sima Agung.  Sepupu dari Raja Majapahit yang sejak lama memang tidak pernah patuh dan tunduk terhadap aturan kerajaan karena tidak setuju dengan adanya beberapa tokoh hitam ikut bergabung dalam Sayap Sima.

Dyah Puspita menoleh kepada tiga orang yang sudah bergabung dengannya dan berkata;

"Paman bertiga, kita diminta untuk mencari dan menangkapnya hidup hidup jika bisa.  Harap paman bertiga ingat itu."

"Aku tidak peduli dia tertangkap hidup atau mati," dengus Aswangga pendek.

Madaharsa menimpali; "Paduka Arya Prabu yang hebat.  Perkenankan saya menawarkan sesuatu kepada paduka.  Menyerah dan pengadilan kerajaan akan memutuskan hukuman paduka atau pilih melawan kami yang paduka tahu tidak bisa paduka menangi."

Argani juga tidak mau kalah gertak, suaranya lirih dan bergetar namun mengandung kekuatan menaklukkan karena diam diam dia menyisipkan sihir penakluk;

"Sima Agung, aku sudah lama tahu bahwa kau tidak suka kami bergabung dalam Sayap Sima.  Aku juga tahu bahwa kau adalah menantu ponakan Raja Blambangan.  Tapi aku tidak takut.  Kau dulu pernah mengalahkan aku dalam adu tanding kanuragan di istana. Tapi aku yakin sekarang bisa mengalahkanmu dengan mudah.  Benar apa yang dikatakan gadis cantik ini.  Sebaiknya kau menyerah dan aku hanya akan mencopot sebelah kakimu saja".  Udara di sekeliling tokoh-tokoh yang akan bertempur itu mendadak menipis dan pasti akan membuat sesak nafas bagi siapapun yang tidak memiliki daya linuwih yang cukup.  Sihir Penakluk memang dahsyat.  Selain mengandung kekuatan tenaga dalam yang kuat, juga disisipi oleh mantra hitam yang hebat.

Tapi hal ini sepertinya tidak terlalu berpengaruh pada Arya Prabu.  Tongkatnya berubah menjadi kemerahan seperti nyala api.  Inilah yang membuat Arya Prabu sangat terkenal dahulu.  Ajian Geni Sewindu yang menjadi andalannya sekarang dikeluarkan sepenuhnya.  Selain tongkatnya yang menyala terang, tangannya pun diselimuti oleh api berwarna kebiruan.

"Dyah Puspita.  Aku tidak mau mencari permusuhan denganmu.  Apakah kau tahu bahwa yang dituduhkan sang Mahapatih itu tidak benar.  Beliau termakan isu yang dihembuskan oleh cecunguk centil pesolek itu." Ujarnya sembari menuding marah ke arah Madaharsa.

"Paduka Paman, para telik sandi  kerajaan telah lama mengikuti gerak gerik Paman.  Kami sudah mengumpulkan banyak informasi tentang kedekatan Paman dengan Kerajaan Blambangan.  Juga rencana besar Kerajaan Blambangan untuk mengacau kekuasaan Majapahit.  Dan itu didukung oleh Paman."  Dyah Puspita menjelaskan dengan ringkas sambil mulai mempersiapkan diri.

"Paduka Paman adalah keluarga dekat kerajaan.  Mengingat hal itu dan bahwa Paman juga pernah dekat dengan Paduka Mahapatih, maka ampunan kerajaan bisa diberikan jika Paman mau ikut kami dengan sukarela dan bersedia membeberkan apa rencana besar Kerajaan Blambangan terhadap Majapahit.......Kami juga..........

"Dukk...Dukk...Dukk..."

Belum selesai kalimat Dyah Puspita, tiba tiba Aswangga melayangkan sebuah pukulan hebat ke arah Arya Prabu. Tubuhnya yang gendut melayang ringan mengitari Arya Prabu.  Luar biasa memang.  Tubuh segendut itu ternyata sangat ringan ketika menggerakkan diri bertempur.  Bayangannya berkelebatan mengirimkan banyak pukulan mematikan.  Muncul asap hijau kehitaman di lengannya.  Tanda Aswangga mengeluarkan Pukulan Wedhus Gembel yang mengerikan.  Arya Prabu menandinginya dengan kecepatan yang tak kalah mengejutkan.  Lengannya yang diselubungi api menangkis dengan cepat semua pukulan mematikan itu. Bahkan mampu mendesak mundur dan membuat kerepotan Aswangga. 

Bayangan lain berkelebat mengirimkan pukulan yang mendesis desis.  Argani membantu Aswangga dengan mengerahkan ajiannya yang dinamakan Pukulan Racun Timur.  Suara desisan pukulan itu diikuti bau tengik memuakkan hidung.  Lawan yang tangguhpun akan terpengaruh oleh bau racun yang diambil dari saripati kalajengking berbisa itu.  Tapi Arya Prabu dengan tenangnya melayani dua lawan hebat ini. 

Api sekarang tidak hanya membungkus lengannya.  Seluruh badan Arya Prabu diselimuti api yang menyala nyala.  Herannya bungkusan yang digendong di punggungnya tidak ikut terbakar.  Tiga orang yang sedang bertempur itu tidak nampak lagi wujudnya.  Hanya bayangan berkelebatan, daun daun beterbangan, asap hitam, hijau dan api kemerahan saja yang nampak mata. Arya Prabu sekarang hanya bisa mengimbangi saja pukulan-pukulan lawan.  Selain lawan lawan yang sangat berat, bungkusan besar di punggungnya membuat gerakannya terbatasi.  Dia mengkhawatirkan keselamatan putranya yang ada dalam bungkusan di punggungnya.  Hebatnya, dia tidak mendengar putranya menangis atau menjerit-jerit ketakutan. 

Dyah Puspita menonton dengan jantung berdentam dentam.  Dia tahu pertempuran ini berimbang dan akan berlangsung dalam waktu yang tidak sebentar.  Dia tidak bisa memasuki gelanggang pertempuran karena sadar hanya akan mengganggu konsentrasi dua sekutunya yang sedang bertempur dengan tokoh sakti itu.  Diliriknya Madaharsa sedang memperhatikan pertempuran itu dengan seksama tapi dengan senyum simpul di sudut mulutnya.  Dilihatnya kedua tangannya dimasukkan ke dalam jubah dan kelihatan sedang mengambil sesuatu.  Dyah Puspita menajamkan matanya, mencoba memastikan benda apa yang sedang diambil oleh Madaharsa.  Dua benda kecil berkilat dengan ujung berwarna merah darah. 

Senjata rahasia?! Pikir Dyah Puspita dengan gelisah.  Kemudian bergerak cepat mendekati.

Tapi dia terlambat sepersekian masa.  Madaharsa menggerakkan tangannya dan meluncurlah dua senjata rahasia ke arah bayangan-bayangan yang sedang bertempur itu.

"siuuutttt....clap clap....uaaahhh!.....bukk...bukkkk!"

Sesosok bayangan terpental keluar dari arena pertempuran.  Arya Prabu terlihat mengusap sudut mulutnya yang mengeluarkan darah segar.  Dia terkena pukulan telak di dada oleh Argani dan di punggung oleh Pukulan Wedhus Gembel Aswangga.  Lehernya menghitam dan mukanya merah seperti udang yang direbus.  Disentuhnya lehernya untuk mencabut dua benda kecil yang menancap.  Senjata rahasia Madaharsa. 

Arya Prabu berdiri sempoyongan.  Tangannya berpegangan erat pada tongkatnya.  Dia sadar lukanya sangat parah.  Senjata rahasia Madaharsa terkenal dengan racunnya yang sangat mematikan.  Dia memejamkan mata, mengumpulkan segenap tenaga dalam dan menyalurkan pada tubuhnya yang terluka.  Terutama menutup aliran darah di leher agar racunnya tidak semakin menjalar ke seluruh tubuhnya. 

Dyah Puspita mendelikkan matanya kepada Madaharsa. 

"Kau curang Madaharsa! Perbuatanmu sungguh memalukan....."

Melompat ke arah Arya Prabu dan berdiri membelakanginya sambil bertolak pinggang ke arah 3 sekutunya. 

"Hentikan paman.  Cukup! Dia sudah terluka parah.  Biar dia mengobati diri dulu.  Setelah itu baru kita bawa ke ibukota kerajaan."

Ketiga orang itu saling bertatapan mata.  Madaharsa melangkah ke depan selangkah.

"Dyah Puspita, dia sudah sekarat.  Racunku sudah menjalar di tubuhnya. Paling lama empat jam lagi dia sudah tewas.  Kasihan kalau dia harus tersiksa selama itu.  Biarkan kami menyelesaikannya.  Toh Mahapatih tidak mensyaratkan harus ditangkap hidup hidup."  Sambil tetap maju selangkah demi selangkah menghampiri Arya Prabu diikuti oleh kedua rekannya.  Mereka masih dalam posisi siaga dan waspada.  Karena terluka separah itupun, Arya Prabu masih akan sanggup membunuh.

"Tidak Madaharsa! Semua keputusan ada di tanganku sesuai perintah Mahapatih.  Kita tetap akan membawa dia hidup hidup."  Dyah Puspita berkeras mencoba menahan niat membunuh yang jelas jelas terpampang di mata mereka.  Akan tetapi tiga tokoh itu tetap menghampiri perlahan.  Kedua tangan Madaharsa dipenuhi oleh senjata rahasia.  Aswangga mempersiapkan pukulan Wedhus Gembelnya yang terakhir.  Sementara Argani bersiap menjatuhkan pukulan mematikan Racun Timurnya.

Arya Prabu yang sedang tersengal menahan sakit sambil bersila, berbisik pelan kepada Dyah Puspita.

"Dyah Puspita, tolong selamatkan anakku.  Dia ada di gendongan belakang.  Bawa dia ke padepokan ayahmu.  Segeralah pergi.  Aku mohon....Biar aku selesaikan urusanku dengan mereka.  Kau juga akan menjadi korban mereka jika tidak segera meninggalkan tempat ini."

Dyah Puspita memandang bungkusan kain di pundak belakang Arya Prabu dengan terbelalak. Dia sama sekali tidak menyangka ternyata bungkusan itu berisi seorang anak kecil.  Tangan Arya Prabu menyentuh pundak Dyah Puspita dengan halus.  Suaranya bergetar aneh penuh wibawa."Pergilah sekarang...bawa anakku... sekarang." Ada getaran halus dan aneh yang merasuki jiwa Dyah Puspita.  Tanpa berkata apa apa diraihnya gendongan itu dan melesat pergi sambil berkata nyaring.

"Paman bertiga,  Aku pergi.  Tapi ingat!  Apa yang terjadi hari ini di luar semua tanggung jawabku."  Bayangannya kemudian melesat ke arah bukit batu di sebelah timur yang dipenuhi oleh rimbun pepohonan.

Madaharsa mengrenyitkan hidungnya.  Jalan ke arah Ibukota Majapahit bukanlah arah yang dituju Dyah Puspita.  Tapi dia kembali memusatkan perhatiannya kepada Arya Prabu. 

Secara serentak ketiga tokoh itu melancarkan serangan terakhir yang mematikan.  Terdengar debuman keras saat pukulan ketiga tokoh itu bertemu dengan tangan api Arya Prabu.  Tubuh Arya Prabu  terlontar ke udara dan kemudian terhempas ke tanah sepuluh depa.  Mulutnya memuntahkan banyak darah.  Kemudian duduk bersila, mengatur nafas dan memejamkan mata. 

Madaharsa terbungkuk bungkuk menahan sakit di dadanya.  Sedikit darah mengalir dari hidung dan mulutnya.  Diapun segera duduk bersila untuk memulihkan tenaga dan luka dalam di tubuhnya. 

Aswangga lebih parah lagi.  Tubuhnya terjengkang hebat.  Tangannya tergantung di samping tubuhnya tak berdaya.  Kedua tangannya ternyata terluka akibat benturan dahsyat tadi.  Dengan susah payah tokoh gendut itu duduk bersila dan mencoba memulihkan diri.

Argani  tidak lebih baik.   Dia bahkan tidak sanggup berdiri atau bersila.  Cairan kental darah dari mulut dan telinganya menandakan bahwa lukanya cukup parah.  Sambil menahan sakit luar biasa di dadanya.  Iblis sakti ini juga mencoba memulihkan diri. 

Keheningan kemudian sangat mencekam.  Suara daun yang jatuh mendarat di permukaan tanah bahkan seperti suara ledakan meriam.  Selain menahan sakit, ketiga tokoh ini terlihat sangat khawatir.  

Betapa tidak?  Ketiga tenaga yang mereka gabungkan tadi ibarat tenaga dari letusan gunung berapi.  Namun mereka masih saja terluka cukup hebat. Jika Arya Prabu melanjutkan serangannya dengan kondisi mereka saat ini, tak ayal mereka pasti akan menemui ajal.  Seperti dikomando, ketiganya melihat ke arah Arya Prabu.  Tapi yang dilihat hanya terlihat duduk bersila dengan tenang puluhan depa di depan mereka.  Madaharsa memicingkan mata memperhatikan.  Arya Prabu terlihat duduk bersila dengan tenang.  Namun telah kehilangan nafas terakhirnya.

*
Bersambung Bab II

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun