Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Matahari Kemalaman

12 Oktober 2018   03:07 Diperbarui: 12 Oktober 2018   03:10 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jika pada suatu ketika kau menjumpai matahari kemalaman. Melabur dirinya dengan warna yang tak biasa dimiliki senja. Menabur sisa cahayanya dengan ragu-ragu. Pada pagar dan halaman rumah yang mulai dikerumuni sepi. Maka sebetulnya kau sedang berkhayal tentang sunyi. Matahari itu adalah caramu mengelabuhi hati.

sunyi itu duduk di sampingmu. Membacakan cerita yang kau mau. Tentang api yang padam sebelum air berhasil dididihkan. Sementara ujung lidahmu sudah membayangkan cecapan kopi berlelehan. Juga tentang sepasang merpati yang terbang berpasangan. Lalu pulangnya sendirian.

Jika kau menemui pagi bertamu ke rumahmu. Sembari membawa serta beberapa embun yang memasang mimik lucu. Padahal ini masih dinihari pukul satu. Maka kau sebenarnya sedang berhadapan dengan malam yang kesiangan. Dan kau kegirangan. Karena beberapa kenangan usang begitu saja terlewatkan.

kau lupa. Kenangan itu menua dengan sendirinya. Tapi tidak lantas terhapus begitu saja. Suatu ketika kau akan menemuinya lagi seperti deja vu. Di saat kau justru sedang melupakannya satu persatu.

OKI, 12 Oktober 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun