Helai-helai puisi adalah rambutmu yang pagi ini kau biarkan terurai. Disinggahi embun terakhir saat kau menyapa bunga demi bunga di halaman.Embun itu keramas pagimu. Setelah semalam kau bermimpi dibuatkan rembulan. Oleh seseorang yang entah darimana muncul begitu saja dengan segala rahasianya.
Helai-helai puisi adalah matamu yang terpergok sedang bersirobok dengan cemara. Mengagumi sirip daunnya yang serupa jarum. Padanya, kau malah berkhayal memasukkan benang sutera. Kau mau memintal jaring laba-laba untuk memerangkap senyap. Bagimu senyap adalah duri yang selalu saja mencederai pagi.
Helai-helai puisi adalah kata-kata yang kau gumamkan perlahan pada daun-daun kering yang membelasah di tanah. Kau turut berbela sungkawa. Daun-daun itu memang telah menjadi jenazah. Satu hal yang pasti daun-daun itu bukanlah penjarah. Sebab angin sekarang justru terpekur diam melakukan ziarah.
Helai-helai puisi adalah caramu bersedih hati. Merangkainya menjadi sebuah belati. Kapan saja sunyi mendatangi. Tak segan kau tusukkan bertubi-tubi. Kau tetap seorang perempuan pembaik hati. Sunyi itu tak kau bunuh mati. Hanya sekedar kau cederai supaya sunyi tahu bahwa perempuan kini tak mudah lagi dilukai.
Helai-helai puisi adalah meranggasnya senyumanmu karena kemarau memutuskan tinggal sementara di ruang bacamu. Tempat buku-buku yang telah tuntas kau jadikan monumen bagi sejarah yang kau anggap lunas. Kemarau itu tentu kau kira telah melampaui batas.
Helai-helai puisi adalah caramu yang sederhana untuk menunjukkan kepada mimpi, bahwa kau sekarang adalah pemburu dinihari yang tak kenal lagi pada nasib yang dulu menganggapmu sebagai anak tiri.
Kau bisa merubahnya. Dengan caramu yang juga sederhana. Memandang segalanya penuh cinta. Tanpa lagi disertai airmata.
Bogor, 23 September 2018