Begitu mudahnya kau meledakkan kemarahan. Â Hanya karena pelangi menjauh dari tempatmu berdiri. Â Kau tak bisa melihat tujuh lapis warna. Â Dan yang nampak hanya garis langit berjelaga. Â Kau sebut itu semua simbol tak bermakna.
Setangkai bunga runtuh di hadapanmu. Â Sudah waktunya tentu saja. Â Ini senja. Â Mekar itu milik pagi. Â Layu itu selalu di sore hari. Â Tapi kau meraung tak terima. Â Kau pikir wangi sedang melarikan diri.
Tubuh hujan dan anak-anak gerimis menerpa atap rumahmu. Â Kau sebut itu terlalu mengharu biru. Â Kau lemparkan penggalan kalimat;
Kalian tak berkhidmat. Â Semestinya hujan adalah musik di telinga. Â Bukan jeritan monoton antara air dan atap!
Kau lupa. Hujan adalah nada-nada tak tercela. Â Perhatikan susunannya ketika menderas; Â laksana parade drumband berkelas. Â Dengarkan saat tersisa gerimis; itu adalah panggung baca prosa liris beritme magis.
Amarahmu lalu turun seperti seorang ibu sedang menimang bayi. Â Begitu kau menyadari sepenuhnya bahwa garis nasib itu milik sendiri. Â Bukan dikemudikan oleh keriuhan ujung lidah orang-orang yang sibuk membanting ikatan jerami. Â Di tengah-tengah sawah yang tak lagi berpadi.
Jakarta, 4 Mei 2018