Mohon tunggu...
Mila
Mila Mohon Tunggu... Lainnya - 🙊🙉🙈

Keterusan baca, lupa menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Membingkai Air Mata

14 Agustus 2021   08:08 Diperbarui: 15 Agustus 2021   20:43 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ini, Kang Wiryo, topeng kayu yang aku ceritakan kemarin," katanya penuh minat dan keseriusan. Pemuda berambut ombak itu sama seperti Wiryo yang tak bisa berbisik. Suaranya yang rendah tetap terdengar lantang. 

"Ini yang disebut-sebut orang bisa membantu pemakainya menangis di waktu yang tepat. Biar ga kemana-mana nangisnya, Kang. Biar pas satu tempat, satu waktu dengan semua yang mau Kang Wiryo ucapkan. Apapun itu, Kang. Terserah Kang Wiryo mau ngomong apa. Ngarang juga ga papa, Kang. Biar terbingkai air matanya dengan cerita Kang Wiryo. Jadi, orang yang diajak ngomong bisa trenyuh. Terus, hampir pasti dia akan bantu Kang Wiryo dengan apapun. Begitu, Kang." Demikian ucap pemuda itu yang sampai hari ini masih juga belum aku ketahui namanya. 

"Kan, Kang Wiryo pernah cerita kalau ga bisa gampang nangis. Nah, ini bisa membantu, Kang!" Lanjut pemuda itu yang terdengar mendesis layaknya ular mengeluarkan lidahnya yang bercabang. Rasanya ingin segera aku timpuk dengan batu. Untuk apa pula Wiryo butuh menangis. 

"Wah, hebat ini, Mas!" sahut Wiryo yang aku yakin disertai kedua matanya yang membelalak takjub. Aku cuma bisa menghela nafas. Berharap Wiryo tidak mudah dipengaruhi pemuda itu. Tapi apa daya. Begitulah Wiryo dari dahulu. 

"Membantu dengan apa pun itu contohnya apa, Mas?" Lanjut Wiryo yang sepertinya sudah terjerat. 

"Bisa apa aja, Kang. Cuma biasanya orang pasti lebih memilih duit, Kang. Lebih mudah buat transaksi soalnya." Ada nada tawa malu-malu ketika dia menyebut uang. Pastilah karena itu adalah pantulan keinginannya sendiri. Dalam hati aku bertanya kepadanya kenapa tak ia pergunakan sendiri topeng kayu itu. Ah, andai saja aku bisa bertelepati melalui tembok itu dengan Wiryo. Mungkin aku bisa langsung menggaungkan di telinga Wiryo, "Wir, Wir, lupakan saja omong kosong itu, Wir!" 

"Tapi dari yang sudah-sudah, Kang, orang-orang langsung tahu. Duitnya ga perlu disebut-sebut. Langsung dikasih aja koq, Kang. Itulah hebatnya topeng kayu ini. Kang Wiryo sudah ga perlu susah-susah kerja lagi, Kang. Ga perlu nunggu apa-apa lagi juga. Pakai ini saja, bisa bikin cepat banyak duit, Kang. Kalau sudah begitu, Kang Wiryo pasti juga cepat dapat jodoh, Kang!" Begitulah cerocos pemuda itu diikuti tawa cekikikan keduanya. Dia membuatku teringat tukang obat zaman dulu yang sering menggelar dagangannya berpindah-pindah dari satu pasar ke pasar yang lain. Berbicara tak ada henti hingga mulutnya berbuih-buih. 

Sama dengan mulut pemuda itu yang sungguhlah semulus rambutnya yang berombak itu. Berkelok-kelok layaknya belut yang menggeliat licin. Tak butuh waktu lama untuk perbincangan mereka menjadi bagaimana topeng kayu itu bisa menjadi milik Wiryo. 

"Siap, Mas. Besok pagi, saya ke bank yang dekat kota itu." Begitulah semua sudah diputuskan. Pemuda itu pergi, dan aku segera beranjak untuk ke belakang menemui si Wiryo. Ketika aku membuka pagar depan, Wiryo baru saja berbelok keluar dari gang kecil itu. 

"Wah, kebetulan, Pak Mo. Saya mau pamit. Besok pagi saya ga bisa kerja di sawah." Rupanya dia juga hendak bertandang ke rumahku. Tapi, tujuan hati kami bertentangan. 

"Saya mau ambil duit, Pak Mo. Saya mau beli topeng kayu," jelas Wiryo penuh semangat. Aku tertegun melihat binar di mata Wiryo yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Rasa-rasanya kedua bola mata itu hampir melompat kegirangan. Terlalu penuh dengan luapan keinginan. Senyumnya yang penuh harapan serasa kobaran api yang membara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun