Mohon tunggu...
Miki Mayang
Miki Mayang Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu dua anak

Tinggal di Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

"Berjuang di Sudut-Sudut Tak Terliput" Iqbal Aji Daryono

12 Agustus 2022   18:21 Diperbarui: 4 Desember 2022   10:34 2295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Miki Mayang

Berjuang di Sudut-Sudut Tak Terliput berisi cerita-cerita sisi lain polisi, hasil dari rentetan perjalanan Iqbal Aji Daryono (IAD), penulis sekaligus tukang jalan-jalan yang awam akan dunia kepolisian tapi sangat penasaran dengan bagaimana sesungguhnya kehidupan para polisi.

Bermula dari blusukan ke dua puluh provinsi di Indonesia, ia memotret aktivitas polisi yang tidak viral tetapi berada di luar bayangan mainstream orang awam, lalu mengemasnya menjadi travel stories yang menawan. Tiga ratus tujuh puluh empat halaman yang full colour di dalamnya menggambarkan kisah dan pengalaman anggota Polri di beberapa sudut wilayah Indonesia dengan berbagai dinamika dan tantangan tugasnya.

Seperti biasanya, perspektif IAD selalu di luar kelaziman. Di saat sebagian besar masyarakat lebih memilih memviralkan kasus-kasus yang melibatkan oknum kepolisian, dengan usilnya ia malah mengungkap sisi lain polisi. Menurutnya, jika hanya menulis yang sama dengan apa yang sudah dipahami banyak orang, maka kita tidak akan memberikan kontribusi apa pun bagi cakrawala berpikir publik luas.

Awalnya saya sempat ragu, apa yang hendak saya harapkan dari sebuah buku yang bahkan penyusunannya pun diinisiasi oleh alumni Akademi Kepolisian. Hanya dengan melihat kover depannya saja, saya sudah langsung membayangkan lembar demi lembar yang isinya penuh sesak dengan kalimat puja-puja. Namun tatkala mengeja nama penulisnya, seketika saya berpikir lain: mana mungkin penulis sekaliber IAD akan menuangkan hal-hal yang artifisial dan tidak asli?

Walaupun yang diulas hanyalah sisi-sisi positif dan humanisnya saja, ia berinteraksi secara langsung dengan tokoh-tokoh dalam cerita. Sehingga citra positif Polri berhasil dibangun secara elegan, jauh dari kesan glorifikasi yang berlebihan. Agaknya, penulis yang ogah disebut sebagai buzzer polisi ini benar-benar telah belajar tentang bagaimana menata porsi yang pas antara idealisme dalam berkarya di satu sisi, dan sikap realistis agar mesin karyanya tetap berjalan di sisi yang lain.

***

Banyak kisah luar biasa dalam buku terbitan Giga Pustaka ini, beberapa di antaranya sungguh membuat saya bergidik ngeri. Tentang Aipda Zulqadri yang batok kepalanya dibacok parang oleh seorang residivis dalam kisah Di Tengah Lontaran Bilah-Bilah Tajam misalnya. Atau cerita yang berjudul Bertempur dengan Senjata Obat, Termos, dan Babi-Babi yang mengisahkan aktivitas polisi pasca peristiwa pembantaian tenaga kesehatan di Papua.

Meski saya sangat paham bahwa semua itu adalah bagian dari tanggung jawab dan pengabdian, tetap saja saya masih belum sanggup membayangkan bagaimana mencekamnya situasi yang dihadapi oleh mereka yang bertugas di sana. Pun, saya sungguh tidak sampai hati memikirkan betapa was-was dan khawatirnya keluarga mereka.

Apalagi ketika penjelajahan saya sampai pada kisah Melawan Serangan Ilmu Hitam di Batas Selatan. Saya tak habis pikir bagaimana bisa seseorang dengan begitu mudahnya mengayunkan parang hanya gara-gara sebuah mimpi. Dan kasus-kasus pembunuhan dengan motif serupa itu sudah berkali-kali terjadi, bahkan mungkin telah menjadi fenomena jamak sejak ratusan tahun silam. Ngeri betul.

Lebih ngeri lagi saat tebersit nasib mereka yang ditugaskan di sana, di daerah dengan kultur sosial masyarakat yang kental dengan aroma mistis, suanggi, teluh, santet dan sejenisnya. Sungguh menyeramkan! Di batas selatan Republik Indonesia itulah nyali para petarung bhayangkara diuji.

***

Di balik pulau cantik yang membuat penulis jatuh cinta, ada kisah tentang ribuan luka dan potensi konflik karena kekuatan primordial desa-desa. Dengan ditemani beberapa potong ikan kuah kuning dan sepiring penuh papeda, ia menuliskan banyak cerita tentang Ambon, juga tentang Negeri Ema yang disebutnya sebagai secuil surga kecil di atas awan. Kisah ini bisa kita jumpai pada bab yang berjudul Local Job for Local Boy.

Buku dan Calistung yang Menyulap Wajah Kampung mengisahkan Bripka Sandry dan Bripka Menas dengan segala tantangan tugasnya, termasuk menangani anak-anak yang sedari kecil terbiasa bergelut dengan parang. Keduanyalah yang kemudian mengawal nasib kegembiraan anak-anak bersama buku-buku.

Sayangnya, setelah dicetak di bookpaper, gambar-gambar cantik yang disajikan jadi agak menurun kualitas warnanya. Namun, keceriaan dan kegembiraan anak-anak masih tampak jelas terpancar dari gesture dan senyuman manis yang terukir di wajah-wajah polos mereka. Seperti rasa, senyum anak-anak memang nggak bisa bohong.

Saya suka gaya IAD saat memungkasi cerita tentang dua polisi Papua Barat ini. Ia sedang dalam perjalanan kembali ke Waisai ketika ada ikan pari manta yang melompat di permukaan perairan Raja Ampat. Pengemudi boat sontak berteriak memberi tanda agar ia dan rombongan turut menengok ke arah satwa laut eksotis tersebut. Sayang sekali gerakan mereka kurang cepat sehingga momen menakjubkan itu pun terlewat.

Lalu di akhir ceritanya, ia menuliskan: “Tidak apa-apa. Sering kali yang keren-keren tak harus selalu terlihat. Mirip kisah keren perjuangan dua polisi Papua Barat, Bripka Sandry dan Bripka Menas. Dua kisah keren yang jarang terlihat dan sulit menjadi viral, sebab warganet kita lebih gemar meramaikan kabar-kabar yang amburadul daripada yang keren-keren hehehe.” (Halaman 355)

***

Beberapa saat usai menuntaskan buku ini, ada banyak tanya dalam benak saya tentang apa sebenarnya yang mereka cari di pelosok negeri ini. Rasanya agak tidak masuk akal jika para pejuang bhayangkara itu rela kehilangan waktu bersama orang-orang tercinta dan bahkan ada yang sampai bertaruh nyawa, hanya demi berharap apresiasi. Bicara soal panggilan tugas dan pengabdian pun terdengar sedikit klise. Atau mungkin mereka adalah manusia-manusia yang memang terlahir dengan jiwa petualang? 

Tapi sepertinya kurang pas jika Berjuang di Sudut-Sudut Tak Terliput ini sekadar dianggap seperti buku kehumasan pada umumnya yang isinya standar saja. Sementara di dalamnya ada banyak cerita manusia, nggak melulu berkutat seputar upaya mengangkat citra positif Polri semata. Melalui buku ini kita akan menemukan kedalaman makna kehidupan, spiritualitas, dedikasi, pengabdian, dan petualangan. Juga ada kisah bercandaan mulai tentang muasal lezatnya masakan Minang, hingga hikayat gudeg gosong. Ohya, sebaiknya lewati saja halaman 116 jika Anda tak ingin kesal kena prank, wkwkwk...

Secara teknis, keseluruhan yang ada di dalam buku ini sebetulnya tidak menawarkan hal baru. Baik dari segi isi, maupun gaya cerita. Seperti di hampir semua tulisan pada buku-bukunya yang lain, gaya cerita IAD ya memang seperti itu, selalu memukau. Isi bukunya yang memuat kisah tentang orang-orang baik yang penuh pengabdian dan ketulusan semacam itu juga bisa dibilang hal biasa, mungkin kita sudah kerap menjumpainya di keseharian.

Namun menjadi spesial tatkala tokoh-tokoh dalam cerita adalah personil dari sebuah institusi yang belum lama ini menjadi trending topik bersama tagar #percumalaporpolisi. Meski buku fenomenal ini tidak serta merta bisa dianggap sebagai cerminan wajah polisi secara keseluruhan, namun setidaknya di tengah gempuran isu negatif akibat ulah oknum-oknumnya, Berjuang di Sudut-Sudut Tak Terliput bagai seteguk air pelepas dahaga yang mampu menumbuhkan optimisme bahwa di dalam tubuh Polri masih tersisa manusia-manusia baik.

Tentu saja buku catatan perjalanan ini bukan semacam tulisan analisis-reflektif seperti tujuh buku personal IAD yang telah terbit sebelumnya. Namun detail dalam setiap ceritanya mengingatkan saya pada tulisan-tulisannya tentang Australia di buku pertamanya, Out of The Truck Box.

Berkat teknik penulisan dan gaya story tellingnya yang khas disempurnakan dengan foto-foto keren hasil jepretannya sendiri, alih-alih sekadar mengajak membaca buku dan menyimak ceritanya, ia bahkan sukses membawa saya turut berpetualang bersamanya, berbincang dengan sosok-sosok manusia dari Aceh hingga Papua. Menurutnya, kendati ada kompleksitas masalah dan bagian-bagian yang masih menjadi PR bersama, di saat yang sama ada sudut-sudut yang perlu kita tengok agar kita tidak melulu memandang institusi ini hanya dari satu sisi saja, sementara banyak sisi luar biasa yang jarang tertangkap mata.

Sepakat atau tidak sepakat dengan isinya, itu urusan nanti. Toh menariknya buku ini juga bukan semata-mata karena isinya, melainkan berkat cerita dan kualitas penulisannya yang top. Pendek kata, buku yang terdiri dari dua puluh tiga bab ini memang perlu dibaca agar kita tidak menjadi pemamah informasi yang pilih kasih.

_____

•Judul Buku: Berjuang di Sudut-Sudut Tak Terliput

•Penulis: Iqbal Aji Daryono

•Penerbit: Giga Pustaka, 2022

•Tebal Buku: xiv + 374 halaman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun