Nama : Miftakhul Ana Khoirunisa
Nim : 43223010175
Mata Kuliah : Teori Akuntansi
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., AK., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
Pendahuluan
Di dunia modern yang serba data, akuntansi sering kali dipahami sebagai sekadar bahasa angka, alat untuk menghitung, mengukur, dan menilai. Laporan keuangan dianggap cermin objektif dari realitas ekonomi. Namun, di balik setiap angka terdapat kisah manusia: kerja keras, keputusan etis, dan nilai moral yang tidak dapat dijelaskan oleh rumus matematis semata.
Selama ini, banyak orang memandang akuntansi secara sempit, hanya sebagai sistem teknis tanpa unsur kemanusiaan. Padahal, di balik catatan laba, rugi, dan aset terdapat pergulatan batin, pertimbangan moral, serta makna hidup manusia sebagai makhluk sosial. Inilah yang coba diungkapkan oleh Wilhelm Dilthey, seorang filsuf Jerman yang membawa hermeneutika, ilmu tafsir dan pemahaman ke dalam ranah ilmu kemanusiaan.
Hermeneutika memandang bahwa memahami manusia tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama seperti memahami benda mati. Untuk memahami manusia, kita harus menafsirkan pengalaman hidupnya, bahasanya, dan nilai-nilai yang ia hidupi. Ketika pendekatan ini diterapkan pada akuntansi, muncul pandangan baru bahwa akuntansi bukan hanya ilmu tentang angka, melainkan juga ilmu tentang makna kehidupan ekonomi manusia.
Artikel ini membahas secara mendalam teori akuntansi dengan pendekatan hermeneutik Wilhelm Dilthey menggunakan unsur 5W + 1H (What, Who, When, Where, Why, How), dengan penjelasan berdasarkan setiap slide dalam materi kuliah Teori Akuntansi. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa di balik angka-angka akuntansi, terdapat makna sosial, etika, dan spiritual yang tak kalah penting dari logika ekonomi itu sendiri.
Pendahuluan
Selama ini, banyak orang memahami akuntansi hanya sebagai ilmu hitung, sistem pencatatan, atau alat untuk mengendalikan keuangan. Akuntan sering digambarkan sebagai sosok kaku yang berhadapan dengan angka, tabel, dan laporan laba-rugi. Dunia akuntansi tampak dingin, penuh logika, dan minim perasaan.
Namun, siapa sangka bahwa di balik angka-angka itu sebenarnya tersembunyi nilai-nilai kemanusiaan yang sangat dalam?
Di sinilah pemikiran Wilhelm Dilthey menjadi relevan. Filsuf Jerman yang hidup di penghujung abad ke-19 ini menantang pandangan bahwa semua ilmu harus tunduk pada metode sains alam. Ia menyadari bahwa manusia bukan mesin, dan kehidupan manusia tidak bisa dijelaskan hanya dengan hukum sebab-akibat.
Bagi Dilthey, kehidupan adalah sesuatu yang dihayati, bukan sekadar diukur.
Apa itu Hermeneutika Wilhelm Dilthey dalam Akuntansi?
1. Hermeneutika: Dari Seni Menafsir Teks Menjadi Seni Memahami Kehidupan
Kata “hermeneutika” awalnya berasal dari tradisi penafsiran kitab suci di dunia Yunani dan teologi Kristen. Namun, sejak Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey, hermeneutika berkembang menjadi filsafat tentang pemahaman manusia.
Schleiermacher mengajarkan bahwa menafsir teks berarti berusaha menghidupkan kembali makna batin penulisnya.
Dilthey melangkah lebih jauh. Ia berkata, “Bukan hanya teks yang perlu ditafsir, tetapi seluruh kehidupan manusia.”
Menurut Dilthey, setiap tindakan manusia adalah ekspresi dari kehidupan batinnya.
Manusia berpikir, bekerja, berinteraksi, mencipta seni, beragama — semua itu adalah “Ausdruck” (ekspresi).
Melalui ekspresi inilah kehidupan menampakkan dirinya, dan tugas kita sebagai manusia lain adalah memahami (atau Verstehen) ekspresi tersebut.
Dalam konteks akuntansi, ekspresi kehidupan ini muncul dalam bentuk angka, laporan, neraca, atau catatan keuangan.
Ketika seseorang mencatat pendapatan, utang, atau laba, ia sebenarnya sedang mengekspresikan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar data: ada harapan, rasa takut, tanggung jawab, bahkan doa di baliknya.
Jadi, “hermeneutika akuntansi” adalah upaya untuk memahami kehidupan ekonomi manusia melalui simbol dan angka yang mereka hasilkan.
2. Dua Dunia Pengetahuan: Naturwissenschaften dan Geisteswissenschaften
Wilhelm Dilthey membagi ilmu pengetahuan menjadi dua jenis besar:
Ilmu Alam (Naturwissenschaften) – yang berfokus pada penjelasan objektif terhadap dunia luar, seperti fisika, kimia, atau biologi.
Tujuannya adalah menemukan hukum sebab-akibat yang berlaku universal.
Ilmu Roh / Ilmu Kemanusiaan (Geisteswissenschaften) – yang berfokus pada pemahaman kehidupan batin, sejarah, budaya, dan makna manusia.
Tujuannya bukan menjelaskan, tetapi memahami.
Akuntansi selama ini cenderung ditempatkan di wilayah ilmu alam sosial: mencari hukum, hubungan kausal, atau korelasi antara variabel ekonomi.
Namun menurut Dilthey, ini adalah penyempitan. Akuntansi seharusnya berada di wilayah ilmu kemanusiaan, karena di dalamnya ada kehidupan, nilai, dan moral.
Contoh sederhana: ketika seorang akuntan memutuskan cara mencatat donasi untuk korban bencana, ia tidak hanya mengikuti aturan PSAK, tetapi juga mempertimbangkan rasa kemanusiaan.
Keputusan itu bukan sekadar teknis, melainkan refleksi nilai.
Dan nilai — dalam pandangan Dilthey — hanya bisa dipahami, bukan diukur.
3. Fisiologi dan Psikologi sebagai Metafora Epistemologis
Dilthey menjelaskan dua cara mengetahui manusia dengan metafora sederhana: fisiologi dan psikologi.
Dalam fisiologi, seseorang memahami tubuh dari luar, secara empiris dan kausal. Misalnya, dokter mengamati gejala pasien dan menafsirnya berdasarkan hukum biologis. Dalam psikologi, seseorang memahami manusia dari dalam: mencoba merasakan dan menghidupkan kembali pengalaman batin orang lain.
Akuntansi positivistik bekerja seperti fisiologi — mengamati perusahaan dari luar, menilai performanya dengan angka-angka.
Sedangkan akuntansi hermeneutik bekerja seperti psikologi — berusaha masuk ke dunia batin pelaku ekonomi, memahami bagaimana mereka menghayati laba, rugi, tanggung jawab, dan moralitas.
Misalnya, seorang auditor hermeneutik tidak hanya memeriksa kesesuaian angka dengan standar, tetapi juga berusaha memahami konteks moral di baliknya:
Mengapa perusahaan memilih mengungkapkan atau menutupi sesuatu?
Apa nilai yang mereka pegang ketika membuat keputusan?
Bagaimana tekanan sosial, agama, dan budaya memengaruhi laporan keuangan mereka?
Dengan kata lain, epistemologi hermeneutik mengajarkan bahwa pengetahuan akuntansi tidak cukup didapat dari luar, tapi harus dihayati dari dalam.
4. Dasar Epistemologi Hermeneutik dalam Akuntansi
Dilthey menolak pandangan positivistik Auguste Comte yang menyatukan semua ilmu dalam satu metode eksakta.
Ia mengatakan bahwa pengetahuan tentang manusia juga rasional, tetapi rasionalitasnya berbeda: bukan rasionalitas matematis, melainkan rasionalitas makna.
Dalam penelitian akuntansi, ini berarti bahwa kebenaran tidak diukur dari signifikansi statistik, tetapi dari koherensi makna dan kedalaman tafsir.
Sebuah studi tentang etika audit, misalnya, dianggap sahih bukan karena p-value di bawah 0.05, tetapi karena mampu menyingkap bagaimana auditor memahami tanggung jawab dan rasa bersalah mereka.
Rasionalitas hermeneutik adalah rasionalitas pemahaman (Verstehende Rationalität), di mana peneliti menjadi penafsir yang ikut terlibat batin, bukan pengamat netral.
5. Akuntansi Sebagai Ilmu Pemahaman
Dalam kerangka Dilthey, akuntansi tidak lagi dilihat sebagai sistem pengukuran yang kaku, melainkan sebagai ilmu pemahaman manusia ekonomi.
Tiap laporan keuangan adalah teks sosial yang dapat dibaca dan ditafsir.
Setiap angka mencerminkan ekspresi nilai, etika, bahkan spiritualitas organisasi.
Contoh:
Laporan CSR (Corporate Social Responsibility) mencerminkan nilai empati dan tanggung jawab sosial.
Neraca perusahaan keagamaan mencerminkan keseimbangan antara profit dan berkah.
Laporan koperasi desa mencerminkan solidaritas dan gotong royong.
Ketika seorang peneliti membaca laporan-laporan ini, ia tidak hanya menghitung angka, tetapi menafsir makna di baliknya — inilah hakikat hermeneutika dalam akuntansi.
Akuntansi hermeneutik mengubah paradigma dari “mengukur hasil” menjadi “memahami kehidupan ekonomi.”
6. Hermeneutika Sebagai Jalan Etis
Bagi Dilthey, memahami berarti juga menghormati.
Ketika kita berusaha memahami kehidupan orang lain, kita sedang mengakui keberadaan dan nilai mereka.
Maka hermeneutika bukan hanya epistemologi (cara mengetahui), tetapi juga aksiologi (cara menghargai).
Dalam akuntansi, hal ini berarti bahwa peneliti, auditor, dan akuntan tidak boleh memperlakukan subjek sebagai objek pengamatan, tetapi sebagai manusia yang bermakna.
Audit bukan sekadar verifikasi, tetapi dialog moral antara pihak yang melapor dan pihak yang menilai.
Setiap angka menjadi simbol tanggung jawab, bukan sekadar data teknis.
Transparansi bukan hanya tuntutan hukum, tetapi bentuk kejujuran eksistensial.
Dengan cara ini, hermeneutika Dilthey memberi akuntansi “jiwa” — mengembalikannya pada hakikat sebagai ilmu kemanusiaan yang berpihak pada nilai dan empati.
Siapa di balik lahirnya Hermeneutika Dilthey dalam Akuntansi?
1. Wilhelm Dilthey: Filsuf yang Menolak Reduksi Manusia
Untuk memahami siapa yang menjadi tokoh sentral dalam teori ini, kita harus kembali ke sosok Wilhelm Dilthey (1833–1911), seorang filsuf Jerman yang hidup di masa ketika ilmu pengetahuan sedang mencari jati diri.
Pada saat itu, ilmuwan seperti Auguste Comte dan positivis lainnya percaya bahwa seluruh pengetahuan harus disusun berdasarkan metode empiris dan eksperimental seperti dalam fisika atau biologi.
Dilthey tidak menolak ilmu alam, tetapi ia menolak reduksi manusia menjadi objek eksperimen.
Menurutnya, kehidupan manusia tidak bisa dipahami seperti benda. Ia menulis bahwa “kehidupan hanya dapat dipahami dari dalamnya sendiri.”
Inilah landasan hermeneutika humanistiknya — sebuah filsafat yang melihat manusia sebagai makhluk bermakna (Sinnwesen), bukan hanya makhluk berpikir atau bekerja.
Dilthey berperan penting dalam sejarah pemikiran karena:
Ia membedakan dengan jelas antara ilmu alam dan ilmu manusia;
Ia mengubah hermeneutika dari metode tafsir teks menjadi filsafat pemahaman kehidupan;
Ia menjadi jembatan antara tradisi klasik (Schleiermacher) dan fenomenologi eksistensial (Heidegger, Gadamer).
Bagi Dilthey, tugas utama ilmu-ilmu manusia adalah memahami struktur makna dalam kehidupan sosial dan sejarah.
Ia menulis, “Kita memahami kehidupan dengan menafsir ekspresi kehidupan itu sendiri.”
Artinya, jika seorang peneliti ingin memahami tindakan manusia, ia tidak bisa hanya melihat akibat dan datanya, tetapi harus ikut masuk dalam pengalaman hidup orang yang ia teliti.
Ia harus “menghidupkan kembali” (nacherleben) perasaan, niat, dan makna di balik tindakan tersebut.
2. Schleiermacher, Heidegger, dan Gadamer: Rantai Hermeneutik yang Menguatkan Dilthey
Hermeneutika Dilthey bukan berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari rantai panjang pemikiran yang berkembang selama dua abad:
Friedrich Schleiermacher (1768–1834): meletakkan dasar hermeneutika modern.
Ia berpendapat bahwa memahami teks berarti menafsir struktur bahasanya (dimensi gramatikal) sekaligus menelusuri maksud penulisnya (dimensi psikologis).
Schleiermacher ingin mengembalikan “roh” penulis ke dalam pembacaan.
Wilhelm Dilthey (1833–1911): memperluas konsep Schleiermacher dari teks ke kehidupan.
Ia melihat bahwa bukan hanya tulisan yang mengandung makna, tetapi seluruh tindakan manusia adalah teks yang dapat ditafsir.
Martin Heidegger (1889–1976): mengubah hermeneutika menjadi filsafat eksistensial.
Ia mengatakan bahwa memahami adalah cara manusia “ada di dunia” (Being-in-the-world).
Hans-Georg Gadamer (1900–2002): memperkenalkan konsep dialog historis antara masa lalu dan masa kini melalui bahasa dan tradisi.
Dalam konteks akuntansi, rantai pemikiran ini berarti bahwa laporan keuangan, kebijakan bisnis, dan perilaku ekonomi bukan sekadar data, melainkan narasi historis yang menuntut pemahaman kontekstual.
Akuntan, auditor, dan peneliti adalah pembaca teks kehidupan ekonomi itu.
Di Mana Hermeneutika Dilthey Bekerja dalam Dunia Akuntansi?
1. Dunia Hidup (Lebenswelt): Tempat Akuntansi Dihayati
Dilthey memperkenalkan konsep Lebenswelt, atau dunia hidup — dunia yang tidak netral dan objektif seperti yang diasumsikan sains alam, tetapi dunia yang dihayati manusia dari dalam.
Di dunia hidup, manusia memberi makna terhadap segala sesuatu: pekerjaan, uang, tanggung jawab, dan angka.
Akuntansi hidup dalam dunia ini.
Setiap sistem pencatatan lahir dari budaya, sejarah, dan nilai masyarakatnya.
Contohnya:
Di pasar tradisional, laba dimaknai sebagai “rezeki yang berkah”.
Di korporasi modern, laba menjadi simbol legitimasi dan kepercayaan publik.
Di lembaga keagamaan, laba diartikan sebagai keseimbangan antara usaha duniawi dan tanggung jawab spiritual.
Dengan demikian, akuntansi tidak pernah netral. Ia selalu menjadi bagian dari kehidupan sosial yang mengekspresikan nilai-nilai komunitasnya.
2. Ontologi Kehidupan: Realitas Akuntansi Sebagai Ekspresi Makna
Bagi Dilthey, realitas manusia bukanlah benda mati, tetapi kehidupan yang mengekspresikan diri.
Setiap tindakan, simbol, atau lembaga sosial adalah Ausdruck (ekspresi) dari kehidupan batin manusia.
Akuntansi adalah salah satu bentuk ekspresi itu.
Laporan keuangan, tanda tangan auditor, tabel neraca, bahkan catatan kecil di pembukuan warung — semuanya adalah bahasa simbolik kehidupan ekonomi.
Ketika seorang akuntan menyusun laporan, ia sedang mengekspresikan struktur moral masyarakatnya:
Ketertiban → melalui kesesuaian pencatatan.
Kejujuran → melalui transparansi angka.
Tanggung jawab → melalui pengungkapan laporan kepada publik.
Dengan demikian, dunia akuntansi tidak berada “di luar” manusia, tetapi menjadi bagian dari keberadaan manusia itu sendiri.
Akuntansi adalah cermin kehidupan yang menampakkan nilai-nilai zaman.
3. Dunia Historis dan Intersubjektif
Hermeneutika menolak pandangan bahwa realitas bersifat statis.
Bagi Dilthey, semua makna bersifat historis dan intersubjektif — dibentuk oleh interaksi manusia dalam perjalanan waktu.
Makna “uang”, “keuntungan”, atau “utang” tidak pernah sama dari satu masa ke masa lain, karena ia lahir dari konteks sejarah dan budaya yang berbeda.
Dalam akuntansi hermeneutik, laporan keuangan dipahami sebagai produk historis dari kesepakatan makna sosial.
Itu sebabnya kita memiliki beragam sistem akuntansi: akuntansi kolonial, akuntansi kapitalistik, akuntansi koperasi, hingga akuntansi syariah.
Setiap sistem mencerminkan “jiwa historis” yang berbeda: kontrol, efisiensi, gotong royong, atau keseimbangan spiritual.
Dengan memahami sejarah ini, akuntan hermeneutik menyadari bahwa angka bukan realitas universal, tetapi simbol hidup dari nilai dan pengalaman manusia sepanjang sejarah.
4. Bahasa dan Simbol: Ruang Hidup Akuntansi
Bahasa akuntansi bukan bahasa matematika, melainkan bahasa simbolik kehidupan.
Simbol-simbol akuntansi — seperti angka, neraca, dan laporan — berfungsi seperti kata-kata dalam kalimat yang menceritakan kisah manusia ekonomi.
Misalnya:
Neraca mencerminkan keseimbangan moral antara hak dan kewajiban.
Laba mencerminkan perjuangan manusia mencari makna kerja.
Pajak mencerminkan solidaritas sosial.
Hermeneutika mengajarkan bahwa tugas akuntan adalah membaca dan menulis bahasa kehidupan ini dengan kesadaran moral.
Setiap simbol adalah teks yang harus dipahami dengan empati.
5. Di Mana Hermeneutika Diterapkan dalam Konteks Modern
Dalam praktik modern, hermeneutika Dilthey diterapkan di berbagai konteks:
Pendidikan Akuntansi: untuk membentuk akuntan yang beretika, reflektif, dan manusiawi.
Audit dan Pelaporan: untuk menanamkan kesadaran moral dan empati dalam proses pemeriksaan.
Penelitian Kritis: untuk memahami makna sosial dan budaya di balik data keuangan.
Dalam konteks Indonesia, penerapan ini menjadi sangat relevan karena masyarakat kita hidup dalam budaya spiritual dan komunal.
Hermeneutika membantu menjembatani antara nilai lokal (kearifan moral dan sosial) dengan praktik profesional global.
Kapan dan Dalam Situasi Apa Hermeneutika Dilthey Menjadi Relevan?
1. Latar Historis Hermeneutika Dilthey
Hermeneutika Wilhelm Dilthey lahir pada akhir abad ke-19, masa ketika dunia ilmu pengetahuan sedang dilanda euforia positivisme.
Positivisme mengajarkan bahwa pengetahuan yang sah hanyalah yang dapat diukur, diobservasi, dan diverifikasi secara empiris.
Dalam atmosfer itu, manusia mulai dipandang seperti objek — sesuatu yang bisa dikalkulasi dan dikontrol.
Dilthey menolak pandangan ini. Ia hidup di masa di mana industrialisasi dan kapitalisme sedang mengubah manusia menjadi roda dalam mesin ekonomi.
Ia melihat bagaimana kehangatan kehidupan batin, moral, dan budaya perlahan tergantikan oleh kalkulasi rasional.
Dalam konteks inilah hermeneutika muncul sebagai bentuk perlawanan intelektual terhadap dehumanisasi.
Pemikiran Dilthey menjadi semacam “napas baru” bagi ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan yang mulai kehilangan arah.
Ia menegaskan bahwa manusia tidak bisa dijelaskan dengan hukum seperti benda, karena manusia memiliki makna, nilai, dan pengalaman hidup.
2. Momentum Kebangkitan Hermeneutika dalam Akuntansi Modern
Meskipun Dilthey hidup lebih dari seabad lalu, gagasannya justru semakin relevan dalam akuntansi abad ke-21.
Di era globalisasi dan digitalisasi, angka-angka keuangan kini diproduksi dalam jumlah luar biasa besar.
Segala sesuatu diukur, diperingkat, dan dinilai: laba, efisiensi, produktivitas, bahkan nilai manusia dalam bentuk “human capital.”
Namun di balik kemajuan itu, muncul krisis: krisis makna dan krisis moral.
Kasus-kasus seperti Enron, WorldCom, hingga skandal keuangan global menunjukkan bahwa di balik sistem pelaporan yang rapi, sering kali tersembunyi ketidakjujuran.
Teknologi semakin canggih, tetapi kesadaran moral tertinggal.
Dalam situasi seperti inilah pendekatan hermeneutik menjadi penting.
Ia mengingatkan dunia akuntansi bahwa angka bukanlah kenyataan mutlak, tetapi hasil penafsiran manusia.
Laporan keuangan adalah teks sosial — produk dialog antara moralitas, budaya, dan kepentingan.
Dengan kata lain, hermeneutika muncul setiap kali manusia mulai melupakan bahwa akuntansi adalah ilmu tentang manusia.
Mengapa Hermeneutika Penting bagi Akuntansi?
1. Karena Akuntansi adalah Cermin Manusia, Bukan Mesin
Mengapa hermeneutika penting?
Karena akuntansi pada dasarnya adalah cermin kehidupan manusia.
Angka-angka dalam laporan keuangan tidak muncul begitu saja. Di balik setiap angka, ada keputusan, dan di balik setiap keputusan, ada nilai.
Ketika akuntansi hanya diperlakukan sebagai sistem hitung, ia kehilangan jiwanya.
Hermeneutika mengingatkan bahwa setiap angka adalah simbol moral yang merefleksikan hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan Tuhannya.
Misalnya, angka “laba” bukan hanya perbedaan antara pendapatan dan biaya, tetapi juga pertanyaan:
Apakah laba itu diperoleh dengan adil?
Apakah laba itu membawa kebaikan bagi orang lain?
Apakah dalam prosesnya manusia diperlakukan secara bermartabat?
Tanpa pemahaman ini, akuntansi berubah menjadi sekadar mesin kalkulasi tanpa nurani.
2. Karena Angka Tidak Pernah Netral
Salah satu prinsip utama hermeneutika adalah bahwa makna tidak pernah netral.
Begitu pula angka-angka dalam akuntansi — mereka selalu lahir dari pilihan moral dan perspektif sosial tertentu.
Contoh: dua perusahaan bisa memiliki laba yang sama, tetapi maknanya berbeda.
Yang satu bisa menghasilkan laba melalui efisiensi yang sehat, yang lain mungkin melalui pengurangan upah pekerja.
Secara angka sama, tetapi secara moral berbeda.
Hermeneutika membantu kita menyadari dimensi ini: bahwa akuntansi bukan sekadar mencatat, tetapi menafsir nilai-nilai kehidupan.
3. Karena Akuntansi Membutuhkan Nilai, Empati, dan MoralDalam filsafat Dilthey, ada tiga konsep kunci yang menjadikan
pengetahuan manusia tetap hidup dan bermakna:
>Lebenswert (Nilai kehidupan) – yaitu makna yang membuat hidup manusia pantas dijalani. Dalam akuntansi, ini berarti angka harus mencerminkan nilai kemanusiaan, bukan hanya efisiensi ekonomi.
>Einfühlung (Empati) – kemampuan untuk memahami pengalaman orang lain dari dalam dirinya. Dalam audit, empati membantu auditor melihat tekanan moral dan dilema yang dialami pihak lain.
>Sittlicher Sinn (Makna moral) – kesadaran bahwa setiap tindakan ekonomi membawa konsekuensi etis.
Ketiga hal ini adalah jantung dari aksiologi hermeneutik dalam akuntansi.
Tanpa nilai, empati, dan moral, akuntansi akan kehilangan arah, menjadi sistem tanpa jiwa yang hanya mengejar angka.
4. Karena Hermeneutika Menyelamatkan Akuntansi dari Krisis Etika
Banyak krisis ekonomi modern sebenarnya berakar pada krisis etika.
Perusahaan memanipulasi laporan keuangan, auditor kehilangan independensi, masyarakat kehilangan kepercayaan.
Semua ini terjadi karena akuntansi diperlakukan hanya sebagai alat teknis, bukan dialog moral.
Hermeneutika menawarkan jalan keluar: kembalikan manusia ke pusat akuntansi.
Jadikan laporan keuangan bukan sekadar catatan laba, tetapi narasi tentang tanggung jawab sosial.
Jadikan akuntansi bukan alat kontrol, tetapi sarana memahami kehidupan bersama.
Dengan cara ini, hermeneutika bukan sekadar teori, tetapi gerakan moral untuk mengembalikan integritas profesi akuntansi
Bagaimana Hermeneutika Dilthey Diterapkan dalam Akuntansi?
1. Melalui Pemahaman (Verstehen) yang Hidup
Kata kunci hermeneutika adalah Verstehen — memahami dari dalam.
Dalam praktik akuntansi, ini berarti akuntan tidak hanya menganalisis data, tetapi juga berusaha mengerti konteks sosial dan batin di balik data itu.
Contoh konkret:
Seorang peneliti akuntansi tidak hanya melihat laporan CSR, tetapi juga mendengarkan kisah para pekerja dan masyarakat yang terlibat.
Seorang auditor tidak hanya menghitung rasio keuangan, tetapi juga memahami tekanan moral yang dihadapi manajemen.
Proses Verstehen ini menuntut keterlibatan batin, empati, dan kesediaan untuk berdialog.
Pengetahuan akuntansi hermeneutik tidak dibangun di laboratorium, melainkan di dunia hidup manusia.
2. Melalui Penelitian Interpretatif dan Kualitatif
Hermeneutika tidak mencari hukum universal, melainkan pemahaman mendalam terhadap makna.
Itu sebabnya pendekatan ini paling cocok diterapkan melalui metode penelitian interpretatif dan kualitatif, seperti wawancara, studi kasus, atau analisis naratif.
Dalam penelitian semacam itu, laporan keuangan diperlakukan seperti teks sastra — dibaca, ditafsir, dan dikaitkan dengan konteks sosialnya.
Kebenaran tidak diukur dari generalisasi statistik, tetapi dari kedalaman refleksi dan koherensi makna.
3. Melalui Praktik Etis dan Empatik
Hermeneutika tidak berhenti pada teori. Ia harus mewujud dalam praktik.
Dalam profesi akuntansi, ini berarti:
Melakukan audit dengan hati nurani, bukan sekadar kepatuhan formal.
Menulis laporan dengan kejujuran dan kesadaran tanggung jawab sosial.
Mengajarkan akuntansi dengan pendekatan humanistik di ruang kuliah.
Akuntan hermeneutik bukan hanya pencatat angka, tetapi penjaga makna — seseorang yang memahami bahwa setiap angka adalah kisah tentang manusia.
4. Melalui Integrasi Nilai, Empati, dan Moral dalam Pendidikan Akuntansi
Pendidikan akuntansi memiliki peran strategis dalam menanamkan semangat hermeneutik.
Mahasiswa harus diajak melihat bahwa teori dan angka hanyalah alat, sedangkan makna sejatinya adalah moralitas dan kemanusiaan di baliknya.
Di kelas, dosen dapat menggunakan pendekatan dialogis: mengajak mahasiswa berdiskusi tentang dilema etika, makna laba, dan tanggung jawab sosial perusahaan.
Dengan demikian, ruang kuliah menjadi “ruang hermeneutik” — tempat mahasiswa belajar memahami kehidupan melalui bahasa akuntansi.
5. Melalui Pembacaan Akuntansi sebagai Teks Sosial
Hermeneutika mengajarkan kita membaca teks tidak secara literal, melainkan simbolik.
Maka laporan keuangan pun bisa dibaca seperti karya sastra — penuh makna tersembunyi, nilai, dan konteks sejarah.
Misalnya, laporan pajak dapat dibaca sebagai teks tentang solidaritas nasional.
Laporan CSR bisa dibaca sebagai teks moral tentang kepedulian.
Neraca bisa dilihat sebagai teks ontologis tentang keseimbangan kehidupan.
Dengan membaca akuntansi secara hermeneutik, kita mengubah cara pandang terhadap profesi: dari sekadar teknis menjadi spiritual dan reflektif.
Penutup
Akuntansi sebagai Cermin Kehidupan Manusia
Pada akhirnya, pendekatan hermeneutik Wilhelm Dilthey mengingatkan kita bahwa akuntansi bukan sekadar hitung-hitungan, tapi juga cermin kehidupan manusia.
Melalui angka, manusia berbicara tentang harapan, tanggung jawab, dan nilai.
Melalui laporan, manusia menulis kisah moral tentang kejujuran dan solidaritas.
Hermeneutika mengajarkan bahwa pemahaman sejati tidak lahir dari jarak, tetapi dari kedekatan batin.
Akuntan yang memahami dunia dengan empati dan kesadaran nilai bukan hanya profesional, tetapi juga manusia yang utuh.
Maka jika kita bertanya kembali, “Untuk apa kita belajar teori akuntansi hermeneutik?” — jawabannya sederhana namun dalam:
Untuk memanusiakan kembali akuntansi.
Untuk membuat angka berbicara tentang kebaikan, untuk membuat laporan menjadi kisah tanggung jawab, dan untuk menjadikan profesi akuntansi sebagai jalan memahami kehidupan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI