Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Ranjang Tanah

17 Januari 2020   13:16 Diperbarui: 17 Januari 2020   16:44 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : expres.co.uk

"Bangun,..., bangun.. kalian tidak mati." "Sampeyan edan, Pak. Orang mati malah dilempari."

Kunto, Suami Rini mencengkeram tangan Badrun. 

"Kalian yang gila. Jelas-jelas sudah mati masih disuruh nikah."

"Kowe sing edan." 

Pentakziah tercengang seakan berpikir siapa yang benar-benar gila. Atau mereka yang mau mengahadiri pernikahan sekaligus pemakaman itu yang harus mendapat predikat gila, atau mayat sepasang kekasih itu? 

****   

Kematian tak ubahnya air bah yang mampu menghempaskan jembatan kenangan antara Anggita dengan ayahnya. Tak ingin ia meratapinya. Seumur hidup belum pernah ia berdamai dengan kematian, kehilangan juga kesendirian. 

Belum pernah keluarganya meninggal. Kakek dan neneknya sudah lama meninggal sebelum Gita lahir. Ketika ayahnya mati malam tadi Gita merasa sendiri. 

"Boleh aku ikut Bapak?" ucap Anggita menyambut kedatangan kekasihnya, Leksono. 

Lelaki muda itu tak menjawab. Leksono mengkhatamkan surat Yasin untuk calon mertuanya. Matanya menahan kesedihan melihat mayat yang terbaring di ruang tengah. Barangkali kesedihan yang mendalam membuat Gita berbicara ngawur. 

"Aku ingin mati."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun