"Bangun,..., bangun.. kalian tidak mati." "Sampeyan edan, Pak. Orang mati malah dilempari."
Kunto, Suami Rini mencengkeram tangan Badrun.Â
"Kalian yang gila. Jelas-jelas sudah mati masih disuruh nikah."
"Kowe sing edan."Â
Pentakziah tercengang seakan berpikir siapa yang benar-benar gila. Atau mereka yang mau mengahadiri pernikahan sekaligus pemakaman itu yang harus mendapat predikat gila, atau mayat sepasang kekasih itu?Â
**** Â Â
Kematian tak ubahnya air bah yang mampu menghempaskan jembatan kenangan antara Anggita dengan ayahnya. Tak ingin ia meratapinya. Seumur hidup belum pernah ia berdamai dengan kematian, kehilangan juga kesendirian.Â
Belum pernah keluarganya meninggal. Kakek dan neneknya sudah lama meninggal sebelum Gita lahir. Ketika ayahnya mati malam tadi Gita merasa sendiri.Â
"Boleh aku ikut Bapak?" ucap Anggita menyambut kedatangan kekasihnya, Leksono.Â
Lelaki muda itu tak menjawab. Leksono mengkhatamkan surat Yasin untuk calon mertuanya. Matanya menahan kesedihan melihat mayat yang terbaring di ruang tengah. Barangkali kesedihan yang mendalam membuat Gita berbicara ngawur.Â
"Aku ingin mati."