Mohon tunggu...
miftachul huda
miftachul huda Mohon Tunggu... rajin pangkal pandir

setiap kita merasa paling benar..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Timnas Indonesia dan Subuh Paling Sendu Kami

12 Oktober 2025   20:29 Diperbarui: 12 Oktober 2025   22:44 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: foto via detik.com )

Fajar masih menyingsing. Langit masih berwarna biru tua, dan dari kejauhan, suara tarhim sebelum subuh terdengar lirih mengalun sendu.

Dalam waktu bersamaan peluit panjang dari wasit yang memimpin laga Timnas Indonesia vs Irak itu berbunyi... dan seketika waktu berhenti.

Para pemain bertumbangan, menunduk. Thom Haye menutup wajahnya dengan jersey merahnya, menahan sesal yang tak terucap. Verdonk menyeka air matanya perlahan, Kevin Diks tertunduk lama, sementara yang lain termangu, beku, tak percaya. Semua berakhir di sini.

Itulah pemandangan yang terlihat jelas dari layer kaca dalam kualifikasi Piala Dunia 2026. Sungguh menyesakkan dada, sesaat setelah laga Timnas Indonesia melawan Irak usai skor 1-0 untuk negeri Teluk.

Minggu di waktu subuh itu bukan fajar biasa. Ia adalah fajar paling menyakitkan dalam ingatan saya.

Tiga tahun berdarah-darah, melewati fase demi fase, dari Round 1 hingga Round 4... dan kini semuanya berhenti di titik yang tak diinginkan. Kalah di laga paling bersejarah.

Bagi sebagian besar rakyat negeri ini, Timnas sepakbola Indonesia bukan sekadar kumpulan atlet olahraga. Bukan sekadar sepakbola 90 menit, bukan sekadar 11 orang yang berlari di atas lapangan hijau. Ia adalah nyawa dari kebanggaan yang sering kali kita tak punya di negeri ini.

Seperti kata Tan Malaka, sepakbola adalah alat perjuangan.

Dan di negeri ini, sepakbola telah menjelma jadi obat luka, penenang dari hiruk pikuk politik yang kian absurd, penawar dari janji-janji kosong para pejabat yang makin kehilangan arah dan nir-empati.

Sepakbola, bagi banyak dari kita, adalah satu-satunya tempat di mana kita masih bisa tertawa, masih bisa bermimpi, masih bisa merasa bangga menjadi orang Indonesia.

Negeri ini, terkadang, hanya mampu membuat kita bahagia lewat Timnasnya, bukan lewat pemerintahannya, apalagi pejabat-pejabatnya. Maka ketika perjuangan menuju Piala Dunia harus berakhir malam itu, tamatlah sudah sumber kebahagiaan yang paling tulus di tanah ini.

Hilanglah alasan untuk bersorak bersama, berdiri di bawah bendera yang sama, meneriakkan satu kata yang selama ini menyatukan kita: Indonesia.

Coba Anda cari di mana lagi ada jutaan orang meneriakkan nama negeri ini dengan air mata dan cinta yang begitu tulus selain di sepakbola? 

Tidak ada.

Hanya di sini, hanya lewat Timnas... kita benar-benar merasa menjadi satu bangsa.

Kini kita harus menunggu lima tahun lagi untuk merasakan nikmatnya mendukung timnas Indonesia menuju panggung paling gemerlap dunia: Piala Dunia.


Jalan Transisi

Tak perlu harus revolusi PSSI, karena itu sesuatu yang tidak memungkinkan dilakukan di rezim ini.

Hal yang paling relevan dilakukan adalah evaluasi atas hasil era kepelatihan Patrick Kluivert.

Saat ini fans marah dan kecewa besar kepada federasi khususnya si ketua Erick Thohir. Meski sudah lama berlalu, kini fans mulai mengungkit tindakan aneh yang memecat Shin Tae Yong (STY) di tengah kompetisi Januari lalu.

Bahkan fans banyak yang meminta kembalikan STY sebagai pelatih Timnas Indonesia. Apalagi dalam waktu bersamaan saat ini STY juga tidak memiliki klub usai dipecat Ulsan Hyudai di Korea.

Kini kita harus sabar menunggu lima tahun lagi sambil berharap PSSI berbenah sepenuhnya, sambil dalam waktu dekat lakukan tindakan tegas dengan memecat pelatih.

Ada banyak opsi pelatih untuk Timnas Indonesia, kini nama nama mulai muncul ada Mark van Bommel yang sukses membawa Royal Antwerp menjadi juara Liga Belgia pada musim 2022--2023. Kemudian ada nama Bert van Marwijk.

Pelatih senior asal Belanda ini pernah membawa timnas negaranya hingga final Piala Dunia 2010.

Lalu jangan dilupakan ada nama Shin Tae Yong. Pelatih paling popular sepanjang sejarah sepakbola Indonesia. STY sangat dikagumi dan dicintai fans sepakbola Indonesia. PSSI bisa acuhkan egonya dan mempertimbangkan nama terakhir ini.

Sebelum saya akhiri tulisan ini, di balik umur yang terus berjalan, mungkinkah kita masih punya kesempatan minimal seumur hidup sekali melihat Timnas Indonesia berlaga di panggung paling akbar dunia, bukan sebagai penonton saja, tapi partisipan Piala dunia. Semoga.

***

Miftachul Huda.
Penulis adalah fans Timnas Indonesia yang Ketika timnas kalah memilih tidak membaca berita dan melihat media sosial dalam waktu yang lama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun