Setiap Sabtu selalu menanti terbitnya koran di pagi hari. Alasannya karena ingin mencari pekerjaan yang biasanya saya dapatkan kabarnya di beberapa halaman dalam surat kabar yang saya maksud. Saya pun membeli dua surat kabar sekaligus. Segera setelah membeli dari lapak yang biasa saya beli, lokasi halaman yang menjadi tujuan, saya lahap tanpa mau menoleh ke halaman lain yang mungkin bagi sebagian pembaca lebih penting tapi tidak untuk saya.
Beberapa barisan rapi di kolom bertanda loker (lowongan pekerjaan)/ karir ditandai dengan pena hitam yang sudah saya siapkan sebelumnya. Alhasil rasa senang menghampiri perasaan saat itu. Karena apa yang menjadi tujuan saya selama ini terlaksana yakni ingin bergabung dengan beberapa lembaga yang bisa  memberi kesempatan saya untuk terus berkarya tentu saja sesuai dengan jurusan yang saya pelajari. Segera jurus-jurus jitu untuk membuat surat lamaran saya siapkan dengan sebaik-baiknya. Berharap semuanya bisa tembus dan berkarir dengan baik.
Sudah kumpulan kalimat saya susun dan menjadi dua lembar kertas, pertama berisi surat lamaran dan berikutnya data pribadi saya. Sederhana dan cukup, pikir saya sesuai dengan apa yang lembaga minta. Uang yang ada di dompet segera dikeluarkan dan membeli amplop coklat besar yang bertali dan segera saya bergegas untuk berpindah ke lokasi beriktunya, kantor pos.
Sesampainya saya di kantor pos, saya menemui petugas yang biasa membantu mengirimkan surat atau amplop. Alasannya karena di kantor pos banyak sekali loketnya dan beda tujuannya. Jadi wajar saja saat itu saya bawel untuk bertanya akan loketnya agar tidak salah. Selang beberapa menit petugas memeriksa dan mengucapkan semuanya lengkap. Berapa pak semuanya? Ucap saya sesaat setelah melihat petugas menimbang amplop coklat besar itu sembari memperlihatkan besaran biayanya. Tak lama kemudian saya langsung kembali ke rumah dan berharap segera ada kabar baik.
Satu Minggu sudah saya menunggu tak ada kabar dan akhirnya Minggu ke dua ada dering telepon dan menanyakan nama seseorang. Sayaa kaget ketika orang yang menelepon tadi menanyakan nama saya. Spontan saja saya jawab, ya mbak saya sendiri. Kemudian si mbak yang tadi menelepon mengingatkan agar saya segera datang ke alamat lembaga yang saya lamar beberapa waktu lalu. Telepon pun ditutup dan tak ada lagi komunikasi. Saat itu ruangaan hening oleh keheranan seisi rumah atas tingkah saya yang gak biasa. Mungkin pikir saya gak percaya atas kabar baik yang datang pada saya siang itu.
Seperangkat jurus jitu saya siapkan dan berharap mengikuti semua yang disyaratkan oleh penyelenggara seleski calon pegawai di tempat yang menjadi tujuan saya. Pakaian sudah rapi mulai dari ramput yang sudah di sisir, kemeja, celana bahan sampai sepatu yang kinclong. Tidak hanya itu seperangkat alat tulis pun sudah menanti di tas hitam saya. Pulpen yang sudah di serut, penghapus putih dan pena hitam. Ini semua dilakukan karena akan berkunjung ke satu lembaga resmi yang saya sendiri tak tahu pasti seperti apa peraturannya. Syukur alhamdulillah saya sampai di lokasi dan meninggalkan angkotan kota yang mengantarkan saya ke lokasi.
Saya menemui bagian informasi dan posisinya tepat mengarah ke ke pintu masuk utama. Saya menjelaskan maksud dan tujuannya ke sini. Hanya beberapa menit saya menunggu dan seorang berkemeja biru membawa saya ke salah satu ruangan yang dingin, maklum semua ber-AC. Saya di sambut bagian HRD, bagian yang biasa mengurusi kepegawaian. Ibu muda itu mempersilakan saya duduk dan sedikit tersenyum. Beberapa pertanyaan datang menghampiri dan saya pun dapat melaluinya dengan baik. Setelah semuanya berakhir. Kami pun berpisah dan ada beberapa kalimat penutup. Terima kasih telah memenuhi undangan kami dan tunggu kabar selanjutnya, Â ucap ibu muda itu.
Tak menunggu sampai satu minggu lamanya, saya mendapat undangan seleksi yang ke dua kalinya. Seperti biasa beberapa jurus jitu sudah saya siapkan dengan matang. Esoknya saya datang ke tempat yang sama dan melaporkan terlebih dahulu atas kabar yang saya dapatkan. Lelaki muda itu dengan cepat mengantarkan saya ke lantai dua. Kali ini saya bertemu dengan orang yang berbeda, pemimpin lembaga tempat saya melamar. Beberapa pertanyaan berbeda dan lebih fokus ke hal-hal teknis termasuk bertanya ongkos yang saya habiskan setiap harinya jika berkunjung ke tempat saya tes dan biaya kehidupan saya dan segala macamnya. Tiga puluh menit pun telah berlalu dan kami pun berpamitan. Pesan yang sama pun terucap dari bibirnya, terima kasih atas kehdairannya untuk yang ke dua kalinya dan mudah-mudahan saudara bisa bergabung dengan kami.
Hari demi hari pun saya lalui dan dering telepon di kamar depan semakin besar. Pertanda baik, pikir saya saat itu. Ketika saya angkat teleponnya dan segera kabar akan lamaran saya datang dari perempuan yang menjadi bagian front office. Sebelumnya terima kasih atas kerja samanya dan memenuhi undangan kami beberapa waktu lalu. Kami ucapkan terima kasih dan mohon maaf untuk sekarang saudara belum bisa bergabung dengan kami, ucap si perempuan itu dengan tenangnya. Dan saat saya menanyakan alasannya, ditemukanlah jawabannya. Alasannya terdapat pada tes yang ke dua dan tak ada hubungannya dengan nilai ijazah tetapi terletak pada hal teknis seperti biaya hidup dan transportasi. Bersamaan dengan itu saingan saya hanya satu dan lembaga harus memilih ke dua calon pelamar dan berdasarkan beberapa pertimbangan dipilihlah yang lokasinya lebih dekat dibandingkan saya yang harus tiga kali naik angkot untuk sekali berangkat menuju tempat dimana saya melamar. Di situlah saya menemukan jawabannya dan memang saya tak mampu untuk memaksa atas apa yang telah menjadi pertimbangan lembaga yang saya tuju dan dijadikan pengalaman bagi saya. Terima kasih
(Fahmi Awaludin, Rabu, 25 April 2012 pukul 2.44 sore)