Mohon tunggu...
Michelle Axelia
Michelle Axelia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Airlangga

Seorang mahasiswi aktif yang berasal dari prodi Kimia Universitas Airlangga yang mencoba menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Angka Pelecehan Seksual Tinggi, Pakaianku atau Pikiranmu?

14 Juni 2022   18:35 Diperbarui: 16 Juni 2022   01:18 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kewaspadaan diri mengenai tindakan pelecehan seksual terhadap perempuan yang masih marak terjadi di lingkungan masyarakat.

Pelecehan seksual adalah tindakan kejahatan yang harus ditanggapi secara serius. Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti: rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian, dan sebagainya. Pelecehan seksual dapat dikatakan sebagai tindakan pemaksaan atau tindakan merugikan yang mengarah pada tindakan kejahatan seksual, yang merugikan satu belah pihak.

Kejahatan ini memang bisa menimpa kedua jenis kelamin, namun kejahatan ini biasanya memakan perempuan dan anak-anak sebagai korban. Hal ini disebabkan persepsi perempuan yang lemah, yang berada di bawah otoritas laki-laki. Padahal, kaum perempuan juga memiliki hak untuk hidup secara aman, tanpa merasa terancam dengan tindakan pelecehan. 

Tidak hanya itu, anak-anak yang dianggap masih belum paham dengan hal ini sering dijadikan sebagai sasaran. Hal ini disebabkan anak-anak yang mudah diancam atau ditipu, juga dipaksa untuk tutup mulut terhadap tindakan kejahatan yang dialaminya.

Tidak ada golongan yang aman dari tindakan pelecehan seksual, orang yang berasal dari golongan atas maupun bawah, dari ras dan agama manapun. Pelecehan seksual dapat terjadi dimana pun dan kapan pun, lingkungan pendidikan maupun rumah tidak luput dari kejahatan ini, seolah-olah tidak ada lagi tempat yang aman.

Tindakan pelecehan seksual sendiri sangat luas, bisa berbentuk lisan atau tulisan, maupun fisik dan non fisik.


"bajunya minim banget si"

"badannya montok deh"

"semalem ngapain aja?"

Contoh pelecehan seksual yaitu ungkapan verbal seperti contoh diatas. Komentar tidak senonoh, adanya gurauan seksual, kegiatan fisik secara langsung seperti mencolek, mengelus, meraba, memeluk anggota tubuh, menunjukkan gambar yang tidak etis, paksaan yang dilakukan oleh pelaku untuk memuaskan diri seperti memaksa untuk mencium hingga memperkosa.

Kita pun tahu bahwa pelecehan seksual memberi efek negatif terhadap korban serta lingkungan masyarakat. Dari tindakan seksual yang dipaksakan kepada korban akan mempermudah penyebaran penyakit menular seksual atau PMS. Korban pun akan mengalami gangguan pola makan, dan pola tidur. 

Pada kasus yang parah, korban bisa juga mengalami kerusakan organ internal hingga kematian. Sedangkan gangguan psikis sangat berdampak bagi kelanjutan hidup korban, korban akan merasa gelisan, muncul gangguan jiwa seperti depresi, dan gangguan panik, PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) atau gangguan stres pasca trauma, gangguan tidur dan mimpi buruk, self harm atau menyakiti diri sendiri, dan juga dorongan untuk mengakhiri hidup.

Apabila terjadi pelecehan seksual, maka dapat dilihat kelunturan norma kesusilaan dalam masyarakat. Setiap tahunnya, angka kasus pelecehan seksual akan terus meningkat. Catatan Tahunan KOMNAS Perempuan pada tahun 2020 mencatat ada 8,234 kasus kekerasan seksual yang ditangani oleh layanan mitra komnas perempuan. Jumlah ini hanyalah jumlah yang diketahui saja. Mirisnya, tidak banyak dari jumlah kasus ini berakhir di ranah hukum atau persidangan. 

Hal ini menandakan ada yang salah terhadap hukum di negara kita. Hukum di Indonesia dinilai belum cukup untuk menjamin hak-hak yang dibutuhkan oleh korban. 

Hukum di Indonesia bisa dijalankan apabila ada bukti yang cukup terhadap kejahatan yang dilakukan, sedangkan biasanya kasus pelecehan seksual bermasalah di kurangnya bukti. Hukum di Indonesia juga harus berbicara lebih spesifik mengenai tindakan yang termasuk tindak pelecehan serta hukuman yang akan dijalani oleh pelaku.

Baru- baru ini pada 12 April 2022, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi undang-undang melalui rapat paripurna. Tentu saja ini adalah sebuah kemajuan setelah 6 tahun lamanya. Namun apakah undang-undang ini sudah cukup untuk menjadi payung hukum bagi korban?

Ada 2 poin yang dihapus dari usulan awalnya, yaitu pemerkosaan dan aborsi. Alasannya? Aborsi sudah diatur dalam UU Kesehatan, agar tidak terjadi tumpang tindih terhadap norma hukum. Namun, bagaimana bisa UU TPKS tidak mengatur kehamilan yang disebabkan oleh pemerkosaan? Atau setidaknya, bukankah aturan baru harus menyediakan layanan terbaik untuk korban?

Yurika Fauzia Wardhani (2007) mengatakan bahwa pemerkosaan merupakan perbuatan pelecehan seksual yang paling ekstrim. Bila korban mengandung janin dari pelaku, maka secara hukum korban tidak diizinkan untuk menggugurkan kandungan. Sedangkan apabila korban memutuskan untuk melahirkan anak tersebut, korban akan mengalami trauma dan tidak mudah untuk menerima kenyataan bahwa anak tersebut adalah hasil dari luka yang dialaminya. Miris, namun ini kenyataannya.

Eksekusi tidak semudah berteori, layanan yang dijanjikan oleh pihak berwenang tidak berjalan dengan baik di lapangan. Perlindungan terhadap korban masih sangat kurang. Banyak kasus justru berakhir dengan pernikahan korban dan pelaku pemerkosaan.

Tindakan pelecehan seksual bukan salah korban. Tidak masalah apa yang korban kenakan. Yang menjadi masalah adalah ketika mata melihat dan otak merencanakan hal buruk. Butuh kesadaran diri dari setiap pribadi untuk tidak merugikan orang lain. Pelaku adalah pelaku, dan korban adalah korban. Korban tidak seharusnya merasa bersalah atas apa yang dialaminya.

Rapists don’t discriminate. Perverts are perverts. Dirty minds come from their brains.

Referensi

BBC News. 2022. Pemerkosaan dan aborsi dihapus dari RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, ratusan kasus yang berujung kehamilan terancam dikriminalisasi. Diakses pada 30 Mei 2022.

BBC News. 2022. RUU TPKS disahkan setelah berbagai penolakan selama enam tahun, apa saja poin pentingnya? Diakses pada 30 Mei 2022.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan. 2020. Perempuan dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Penanganan di Tengah Covid-19. Diakses pada 29 Mei 2022.

Faridah, S. 2021. Penegakkan Hukum Pelecehan Seksual di Indonesia Lemah: Bagaimana Negara Lain? Diakses pada 4 Januari 2022.

Wardhani, Yurika Fauzia & Weny Lestari. 2007. Gangguan Stress Pasca Trauma pada Korban Pelecehan Seksual dan Perkosaan. Surabaya: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan Kebijakan Kesehatan. Diakses pada 01 Juni 2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun