Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tafakur Pernikahan sebagai Takaran Kualitas Pengasuhan

2 Maret 2022   14:18 Diperbarui: 4 Maret 2022   13:12 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pertengkaran suami istri.| Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Masih tak bisa dipisahkan antara utuhnya pernikahan dengan dengan kualitas pengasuhan dari orang tua kepada anak. Artinya, riak perpecahan dalam keluarga, tak bisa dimungkiri menghadirkan dampak buruk bagi anak-anak.

Di sebuah keluarga antah berantah, tersebutlah seorang suami kedapatan cukup intim berkomunikasi via WhatsApp dengan seseorang yang sebetulnya sudah punya suami dan punya anak. 

Perseteruan pun mengemuka, tersebab sang istri merasa tersakiti oleh ulah suaminya yang diam-diam punya teman curhat dan teman bermanja. Terlebih dengan latar belakang pertengkaran-pertengkaran kecil yang muncul sebelum takdir perselingkuhan itu didapati. 

Alasan ekonomi, alasan ketaksinkronan jam kerja dengan di rumah, alasan suami yang relatif "banyak gaya" padahal aslinya masih terbatas finansial.

Berpadu dengan kepribadian sang istri yang relatif lebih banyak diam dan introvert, maka komunikasi untuk meluruskan masalah pun cukup sulit dibuka. Kenapa? Karena sang istri dalam kondisi memendam marah tanpa secara logis berbicara dengan lugas. 

Alhasil, komunikasi hampir selalu gagal, bahkan lebih banyak didominasi dengan ekspresi verbal secara fisik seperti pukulan, dorongan, jambakan dan sejenisnya dari istri kepada suami? Kenapa bisa? 

Ya, kembali kepada alasan semula. Sang istri kesulitan berkata-kata. Sedangkan amarah sedemikian memuncak. Pada akhirnya, terekspresikan lewat tindakan fisik, baik ditujukan kepada suaminya maupun ditujukan kepada dirinya sendiri alias menyakiti diri sendiri.

Apakah yang demikian wajar. Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Tetapi bila saja ditelusuri ke belakang, tentu ada faktor yang membuat sikapnya demikian. Bisa jadi karena kekesalan di masa kecil terhadap anggota keluarga di rumah. 

Namun tentu saja, tulisan ini tidak akan membahas lebih jauh sikap dari seorang istri yang tak rela hati diselingkuhi oleh suami. Melainkan tentang dampak yang mengemuka.

Ya, dampak tersebut salah satunya mengemuka dalam bentuk ketelantaran anak-anak. Secara kasat mata, anak-anaknya mungkin dipandang tidak apa-apa dan seolah tidak terdampak. 

Namun ketika dipelajari lebih awas dan lebih dalam, anak-anaknya menjadi memiliki masalah di dunia sosialnya. Yang paling kasat mata, di lingkungan sekolah tempat mereka berteman dan berinteraksi.

Meski usianya masih terbilang kecil, tapi dampak itu jelas nampak. Mulai dari kesulitan duduk diam yang juga sekaligus kesulitan untuk diarahkan duduk dengan tertib. Pun ketika dibawa berkomunikasi, sang anak relatif "gak nyambung" alias tidak terstruktur dan tidak jelas arah pembicaraan. 

Kenapa bisa? Ya sangat mungkin bisa demikian. Dari mana? Dari sikap ibunya yang memilih banyak mengunci diri di kamar tersebab kemarahan yang belum terpuaskan. Atau di luar mengunci diri di kamar pun, mengunci mulut dari berinteraksi atau sekadar saling bertegur sapa dengan anggota keluarga.

Ini artinya, keterkuncian hati kepada suami, secara pararel, terjadi juga ke anak. Seorang anak, terlebih anak usia dini, ketika banyak diabaikan oleh orangtuanya, ketika kurang perhatian dalam bentuk komunikasi obrolan dengan ibunya, bukan tak mungkin dia jadi tak punya teman berbicara. 

Dan ketika kekurangan ruang untuk sekadar berbicara, maka bagaimana dirinya akan berbicara. Maka wajar ketika berbicara di lingkungan luar pun terjadi kesulitan, tersebab masalah yang ada di rumah yang membuatnya tak terstimulus.

Dan ternyata dampak dari kesakithatian akibat perselingkuhan itu tak sampai di sana. Sang anak menjadi seseorang yang dikenal lekat oleh teman-temannya sebagai anak yang tukang meminta-minta makanan. Bahkan bukan satu dua, anak-anak di sekolah yang kemudian menjadi reaktif tersebab secara spontan diambil makanannya.

Kok bisa? Apa hubungannya dengan ketakharmonisan rumah tangga ibu bapaknya? 

Selidik punya selidik, ternyata kebiasaan anaknya meminta makanan orang lain adalah karena perutnya dalam keadaan lapar. Karena ia terbiasa diabaikan dari waktu makan. Bahkan ketika setiap kali ditanya apakah sudah sarapan atau belum, sang anak dengan polos dan setengah memelas itu mengatakan bahwa ibunya tak pernah membuatkan sarapan untuknya?

Logikanya dari mana? Kok bisa, tidak membuatkan sarapan? Ya, karena pagi hari adalah sesuatu yang stuck untuk ibunya. 

Pagi hari adalah waktu di mana ia mempersepsikannya untuk tak bisa bangkit, meski sesederhana alias semekanis alias selumrah seorang ibu. Pergi ke dapur. Itu tak bisa dilakukan. Dan sang ibu tak merasa khawatir saat secara berulang, anak-anaknya tak disiapkan sarapan. 

Lagi-lagi, bagian dari kemarahan yang masih beum terurai, di mana efeknya dirasakan oleh anak-anak. Anak-anak terpaksa harus menahan lapar bahkan pergi ke sekolah dalam kondisi belum sarapan. Lebih ekstrem lagi, tidak dibawakan bekal makanan untuk sang anak makan bersama teman di sekolah.

Konklusi dan insight-nya adalah bahwa riak pertengkaran yang tak terkelola dengan bijak akan memunculkan ketelantaran anak-anak. Maka betapa penting, setiap pasangan memiliki skill menghadapi masalah rumah tangga. 

Bagaimana logika yang bersih bisa dipergunakan dengan baik untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Karena yang namanya perselingkuhan, tetap saja bagian dari takdir. Tinggal bagaimana kita menghadapinya, tanpa harus "memakan korban". Bagaimana merasionalisasi perasaan sehingga kemarahan bisa terurai dengan benar. Sehingga perkara bisa dibawa duduk dengan pikiran yang jernih.

Sebaliknya, stuck hanya akan membawa diri pada apatisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun