Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Berinvestasi Loyalitas

25 Juni 2020   22:08 Diperbarui: 25 Juni 2020   22:06 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.cermati.com/

oleh: Miarti Yoga

Kadang "baper" saat mengingati suatu hari di mana saya sekeluarga pada akhirnya harus menjual aset seperti rumah atau kendaraan, demi bertahannya usaha yang dijalani. Tepatnya, untuk tetap tegak dan berdirinya sekolah yang kami lahirkan. Alasannya, supaya berhenti dari sejarah mengontrak. Bahkan menjadi berurai air mata saat harus kembali mengingat sejarah atau proses mendapatkannya.

Namun "baper" tak kan pernah menjadi solusi. Sedramatis apapun yang kita hadapi. Karena visioner adalah jantung. Jantung perjalanan.

Dan bukan tak "baper", saat terakhir sebelum PSBB, saya dengan bapaknya anak-anak sepakat untuk melepas sebuah armada tempur kesayangan, sebuah kendaraan SUV yang sangat bersahabat dibawa menyusuri medan yang cukup ekstrem.

Tapi pilihan realistis tentu saja tak bisa digoyahkan oleh sikap "baper". Terlebih ketika diri ini napak tilas perjalanan dari fase ke fase.

Di sebuah tahun, saat Sekolah Zaidan terdesak untuk melayani para siswa dengan mobil jemputan, lalu kami berdua sepakat menyediakan armada. Namun berhubung kondisi kami belum logis untuk membayar sopir, maka bapaknya anak-anaklah yang kemudian mengambil alih posisi tersebut. Sebagai sopir jemputan.

Sedih? Dengan sangat jujur, hati saya berkata "iya". Belum lagi saat mengenang ijazah dan foto wisuda bapaknya anak-anak sebagai sarjana informatika dari sebuah universitas terkemuka di Bandung. Tepatnya, Telkom University (kala itu, masih STT Telkom).

Sesak di dada, menghadapi kenyataan yang ada. Tetapi menyesal pun bukan sebuah hakikat keimanan. Terlebih saat harus berpikir kemaslahatan. Maka pandangan hari depan, cukup menjadi obat bagi saya saat itu. Dan satu hal yang saya jadikan prinsip atas tindakan logis yang harus ditempuh adalah sebagai bentuk loyalitas.

Termasuk saat saya harus benar-benar terjun ke kelas, mengajar, menemani perjalanan "homestay" ke luar kota, bahkan harus membantu anak-anak playgroup dan TK saat mereka buang air. Saya akadkan sebagai loyalitas.

Loyalitas? Kok bisa? Sedangkan saya dan bapaknya anak-anak berkarya di lahan usaha kami sendiri.

Bismillah. Sangat yakin. Bahwa loyalitas itu investasi. Loyalitas itu modal. Modal untuk bertahan. Modal untuk mengundang rizki-rizki. Modal untuk menunaikan keinginan memberi manfaat dan ruang-ruang maslahat.

Jika tidak, itu sama dengan tak serius menjalani. Bahkan berani "perih", berani "pedih".

Dan saya pikir, ini logis. Orang dengan aktivitas berjualan online, orang dengan aktivitas memproduksi makanan atau minuman, orang dengan aktivitas jasa service mobil dan motor, tentu jika tanpa loyalitas terhadap pekerjaan yang dihadapi, mana mungkin akan "sustainable" (baca: terus berjalan).

Oleh karenanya, bagian dari bentuk loyalitas adalah berani "ngeureuyeuh" atau "ngaleukeunan" (baca: sabar berproses).

Dan pada akhirnya, loyalitas menjadi salah satu seni mempertahankan hidup. Terlepas apakah kita bekerja di lembaga atau perusahaan milik orang lain. Atau kita berkarya di tempat atau perusahaan atau di rumah bisnis milik pribadi.

Dan salah satu yang menjadi jalan juang setiap kita berkarya di tempat mana pun adalah LOYALITAS. Artinya, baik diri kita adalah seorang karyawan maupun pemilik usaha, tetap tak bisa menomorsekiankan loyalitas.

Apa sebab? Ketika kita hari ini adalah pegawai, ketika kita hari ini adalah pekerja, meski ingin sekali rasanya untuk memiliki usaha sendiri, namun selama belum atau tidak logis dari sisi modal, dari sisi kesiapan menanggung resiko, maka tempat kita bekerja adalah tempat kita mewakafkan loyalitas.

Karena ketika kita serius menghadirkan loyalitas, itu berbanding lurus dengan kebaikan-kebaikan. Bahkan kebaikan yang tak terprediksi. Atau kebaikan-kebaikan yang bukan dalam bentuk nilai uang semata.

Bahkan ekstremnya, ketika kita berstatus pegawai, tanpa sadar, tempat kita bekerja/berkarya, itu adalah tempat kita BELAJAR, tempat kita mengais berkah, dan tempat kita beraktualisasi diri (sebagaimana teori kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow).

Pun tempat kita bekerja atau berkarya adalah ruang penyedia modal (dengan asumsi bahwa kita belum atau tidak punya modal untuk membuka ladang usaha sendiri).

Sama persis dengan di antara kita yang menjadi marketing produk atau jasa dari sebuah "brand" terkemuka. Tanpa kita sadari, "brand" yang produk atau jasanya kita persuasikan dan kita tawarkan kepada khalayak, itu sebuah modal besar untuk memudahkan jalan.

Kenapa dikatakan kemudahan jalan? Karena kita bisa bayangkan, ketika kita menawarkan sebuah produk baru, yang sama sakali belum dikenal orang, yang sama sekali belum dicicipi atau dinikmati orang, tentu kita cukup sulit dan butuh energi lebih untuk meyakinkan calon konsumen.

Kenapa harus, kita memiliki loyalitas? Karena salah satu hadirnya rizki atau kebahagiaan lahir batin dalam konteks kita berkarya adalah bersumber dari loyalitas. Istilah lainnya, All Out.

Lalu ketika kita mulai perhitungan, ketika kita mulai menurunkan kinerja, ketika kita mulai menghindar dari beban-beban yang seharusnya ditanggung bersama, tanpa sadar kita tengah merancang ketakadilan di antara sesama rekan dalam tim.

Tanpa sadar pula, kita tengah menjauhkan diri dari hadirnya keajaiban. Dan tanpa sadar pula, kita tengah tak berempati terhadap orang-orang yang punya sejarah membangun dan menumbuhkan lembaga atau perusahaan tempat kita berkarya.

Apalah lagi ketika kita mencoba bertafakur atas pengorbanan yang telah dikeluarkan oleh pimpinan atau pengampu perusahaan kita. Atau ketika mengingat belum berbandingnya beban yang harus ditanggung oleh sang pimpinan/pengampu dengan standar beban yang kita hadapi.

Wallohu'alam bishshowab. Sekadar berbagi rasa, bahwa kebahagiaan bertahan hidup, itu tak cukup dengan menjadi "kaum rebahan" atau cukup dengan menjadi penonton.

Dan pilihan pun berlaku. Kita akan menyejarah dengan pengorbanan paripurna lalu Allah hadirkan keajaiban yang tak terduga, atau merasa tak perlu berkorban hingga kita tak perlu menjadi inspirator untuk peradaban.

Sebagai pegawai, sebagai owner, itu hanyalah posisi KASAT MATA. Hakikatnya kita adalah berkorban. Berkorban untuk bekal jawaban terindah saat Allah SWT kelak bertanya di akhirat tentang karya terbaik yang telah kita torehkan.

Semoga menjadi spirit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun