Mohon tunggu...
Mialza rizqa
Mialza rizqa Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura

Mahasiswa Sosiologi Fisib UTM

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menelusuri Arah Perubahan Sosial di Lingkungan Sekitar : Antara Tradisi dan Modernitas

23 Juni 2025   16:53 Diperbarui: 23 Juni 2025   18:46 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar melalui suntingan pribadi menggunakan tools AI

Ditulis Oleh : Mialza Rizqa

Ketika Hidup Tak Lagi Sama

Jika kita sejenak kembali ke masa lalu, mungkin sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu, suasana lingkungan kita terasa jauh berbeda dibandingkan dengan hari ini. Dulu, suara anak-anak yang bermain di halaman rumah menjadi irama sore yang biasa. Ronda malam menjadi rutinitas, dan gotong royong membersihkan jalan setiap akhir pekan seolah menjadi bagian dari kehidupan yang tak bisa ditawar.

Namun kini, banyak hal telah berubah. Anak-anak lebih memilih bermain dengan ponsel ketimbang berlarian di lapangan. Ronda malam digantikan kamera CCTV. Gotong royong berangsur hilang dan diganti dengan sistem sewa tenaga kerja. Bahkan dalam hal hajatan pun, standar sosial berubah: dari kesederhanaan menjadi ajang gengsi yang harus ditampilkan di media sosial.

Tak hanya itu, perubahan juga terlihat dari hal-hal kecil yang dulunya dianggap lumrah. Misalnya, anak-anak yang dulunya saling mengunjungi rumah temannya untuk belajar bersama, kini lebih banyak berkumpul di grup belajar daring. Ibu-ibu yang dulu membuat jajan pasar untuk acara arisan, sekarang memilih memesan lewat aplikasi makanan. Hal-hal ini memang tampak sepele, tapi bila kita perhatikan lebih dalam, semua ini menggambarkan betapa cara hidup dan struktur sosial masyarakat kita mengalami pergeseran.

Perubahan ini tentu tidak bisa dipisahkan dari kemajuan teknologi, urbanisasi, masuknya budaya global, dan peningkatan mobilitas masyarakat. Namun, apa perubahan ini murni berdampak positif?! Apakah masyarakat mampu mengimbangi percepatan perubahan ini dengan kesiapan sosial, budaya, dan emosional?

Pertanyaannya, apakah semua perubahan ini merupakan hal yang wajar? Mengapa perubahan sosial terjadi, dan bagaimana masyarakat meresponsnya? Untuk memahami fenomena ini secara lebih mendalam, kita bisa menggunakan teori perubahan sosial yang dikembangkan oleh sosiolog fungsionalis Talcott Parsons.


Teori Perubahan Sosial Talcott Parsons: Masyarakat Sebagai Sistem yang Terus Menyesuaikan Diri

Talcott Parsons adalah salah satu sosiolog terkemuka dalam aliran fungsionalisme struktural. Ia memandang masyarakat sebagai sebuah sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung dan bergantung satu sama lain. Masing-masing bagian baik itu keluarga, pendidikan, ekonomi, politik, maupun agama memiliki peran dan fungsi penting dalam menjaga keberlangsungan sistem secara keseluruhan.

Menurut Parsons, perubahan sosial bukanlah gangguan dalam sistem, melainkan sebuah mekanisme alami ketika salah satu elemen dalam masyarakat mengalami perubahan. Dalam pandangannya, masyarakat seperti organisme hidup jika satu bagian berubah, bagian lain akan melakukan penyesuaian agar keseimbangan sistem tetap terjaga.

Sebagai dasar pemikirannya, Parsons mengembangkan konsep AGIL Scheme, yakni empat fungsi utama yang diperlukan agar sistem sosial dapat bertahan dan berkembang:

1. Adaptation (A) – Kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan kondisi eksternal, seperti perkembangan teknologi atau perubahan iklim ekonomi. Contoh nyata dari fungsi ini adalah bagaimana masyarakat menyesuaikan cara bekerja dengan sistem daring saat pandemi, atau bagaimana UMKM lokal kini mulai mengandalkan promosi digital untuk bertahan.

2. Goal Attainment (G) – Kemampuan sistem untuk menentukan dan mencapai tujuan bersama. Misalnya, pembangunan desa wisata sebagai upaya mencapai kesejahteraan ekonomi bersama. Jika tidak disertai peran bersama yang jelas, tujuan ini bisa gagal.

3. Integration (I) – Mekanisme yang menyatukan unsur-unsur dalam masyarakat agar tidak terjadi konflik atau disorganisasi. Ketika konflik antar generasi muncul akibat perbedaan cara pandang terhadap media sosial, fungsi integrasi perlu hadir dalam bentuk dialog lintas usia, forum warga, atau peran tokoh masyarakat yang menjadi jembatan komunikasi.

4. Latency (L) – Fungsi pelestarian nilai dan motivasi yang menjadi fondasi moral masyarakat, seringkali dijalankan oleh institusi keluarga dan agama. Dalam masyarakat tradisional, fungsi ini kuat, namun dalam masyarakat modern, peran ini kerap melemah karena distraksi budaya luar yang tak selalu sesuai dengan nilai lokal.

Dari kerangka AGIL ini, Parsons ingin menunjukkan bahwa perubahan sosial yang terjadi secara tiba-tiba atau drastis bisa mengganggu keseimbangan sistem jika tidak diiringi dengan penyesuaian pada fungsi-fungsi lainnya. Oleh karena itu, perubahan yang ideal menurut Parsons adalah perubahan yang berlangsung secara gradual, terstruktur, dan tetap mempertahankan stabilitas sosial.

Dengan menggunakan kacamata teori ini, kita dapat memahami berbagai fenomena di sekitar kita bukan sebagai bentuk kemunduran atau krisis, melainkan sebagai proses adaptasi sistemik dari masyarakat terhadap dinamika zaman. Teori ini mengajak kita untuk tidak semata-mata menerima atau menolak perubahan, tetapi memahaminya sebagai bagian dari strategi bertahan masyarakat.


Fenomena Perubahan Sosial di Lingkungan Sekitar

Untuk melihat bagaimana konsep Parsons relevan, saya ingin membagikan beberapa perubahan nyata yang terjadi di desa tempat saya tinggal. Sebuah desa yang dulunya sederhana dan kuat dalam nilai kekeluargaan, kini mulai mengalami pergeseran karena masuknya teknologi dan budaya luar. Apa yang dulu dianggap sebagai norma, kini perlahan bergeser menjadi “pilihan hidup”. Nilai-nilai kolektif mulai digantikan oleh kepentingan individu, dan keterikatan emosional antar tetangga mulai tergantikan oleh sekat-sekat virtual.

1. Perubahan Pola Interaksi Sosial

Interaksi sosial yang dulu akrab kini mulai renggang. Dahulu, setiap sore warga berkumpul di pos ronda atau warung kopi, berbincang tentang tanaman, ternak, hingga kondisi politik. Kini, pemandangan itu mulai langka. Banyak warga lebih nyaman berinteraksi melalui grup WhatsApp desa ketimbang bertemu langsung. Bahkan saat musyawarah RT pun, kadang hanya diwakilkan via pesan singkat.

Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa fungsi integrasi (I) dalam teori Parsons sedang mengalami tekanan. Interaksi yang menjadi perekat sosial kini digantikan oleh komunikasi virtual yang lebih cepat tapi lebih dingin. Banyak kesalahpahaman muncul karena hilangnya ekspresi, nada, dan konteks yang dulunya hadir saat tatap muka. Hubungan yang dulunya cair, kini menjadi fungsional dan seringkali transaksional.

2. Perubahan Peran Keluarga dan Pendidikan

Perubahan dalam institusi keluarga menjadi sorotan utama. Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat kini dihadapkan pada tantangan baru. Jika dulu orang tua mendidik anak secara langsung dengan pendekatan nilai dan budaya lokal, kini banyak orang tua menyerahkan sebagian besar proses pendidikan anak kepada media digital.

Anak-anak yang dulu belajar dari cerita kakek-nenek tentang sejarah desa atau petuah adat, kini lebih banyak mendapat pengaruh dari YouTuber atau konten kreator yang belum tentu sejalan dengan nilai-nilai lokal. Peran sekolah sebagai lembaga pendidikan formal pun belum sepenuhnya mampu menjadi filter nilai yang masuk secara masif melalui gawai.

Menurut Parsons, ini merupakan tantangan dalam fungsi latency (L) yaitu fungsi pelestarian nilai. Ketika institusi keluarga melemah dan tidak diimbangi oleh kekuatan nilai dari institusi lain (seperti sekolah atau organisasi masyarakat), maka sistem sosial rentan kehilangan jati diri. Anak-anak tumbuh dalam ruang nilai yang tidak seimbang: di satu sisi mereka dituntut memegang nilai lokal, tapi setiap hari mereka disuguhkan gaya hidup yang glamor dan instan dari media sosial.

Perubahan ini juga menciptakan jarak antar generasi. Orang tua sering tidak memahami dunia digital yang menjadi tempat hidup anak-anak mereka. Sementara anak merasa orang tua terlalu kolot dan menghalangi perkembangan. Tanpa ruang dialog yang terbuka, hubungan ini rentan menjadi konflik tersembunyi.

Solusinya bukan menolak teknologi, melainkan membangun pendekatan nilai baru yang relevan. Misalnya, mengajak anak-anak belajar literasi digital bersama, membuat konten lokal bersama, atau menghidupkan kembali cerita rakyat dengan pendekatan visual dan modern. Dengan begitu, fungsi latency tetap berjalan meskipun medium-nya berubah.

3. Ekonomi Digital dan Ketimpangan Baru

Kemunculan ekonomi digital menciptakan peluang sekaligus tantangan. Di desa saya, beberapa anak muda berhasil menjual produk kerajinan ke luar negeri lewat marketplace. Mereka belajar desain grafis, branding, bahkan pemasaran digital. Ini menunjukkan fungsi adaptation (A) berjalan cukup baik.

Namun di sisi lain, banyak pedagang pasar tradisional yang kesulitan bertahan karena pelanggan mereka kini berbelanja lewat e-commerce. Beberapa petani muda juga enggan meneruskan usaha pertanian orang tuanya karena menganggap kerja digital lebih bergengsi. Akibatnya, produktivitas pertanian menurun, dan banyak lahan tidur.

Fenomena ini memperlihatkan adaptasi yang tidak merata. Sebagian masyarakat berhasil beradaptasi, tapi sebagian lain tertinggal dan justru merasa terpinggirkan di tengah perubahan. Jika ketimpangan ini tidak ditangani, maka akan memunculkan kecemburuan sosial, konflik tersembunyi, dan melemahnya kohesi sosial.

Dalam teori Parsons, fungsi goal attainment (G) pencapaian tujuan sosial akan terhambat jika ketimpangan terlalu mencolok. Tujuan bersama masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bisa gagal jika akses dan kapasitas masyarakat tidak merata.

Menjaga Keseimbangan dalam Arus Perubahan

Dari berbagai perubahan yang saya amati, saya berpendapat bahwa masyarakat memang sedang dan akan terus mengalami transformasi. Namun seperti yang dijelaskan Talcott Parsons, perubahan bukanlah ancaman jika sistem sosial mampu beradaptasi dan menjaga keseimbangannya.

Sayangnya, dalam praktiknya, banyak masyarakat kita belum memiliki kapasitas sosial untuk melakukan penyesuaian yang memadai. Kemajuan teknologi datang begitu cepat, namun kesiapan budaya, pendidikan, dan nilai lokal tidak berkembang secepat itu. Akibatnya, bukan perubahan itu sendiri yang berbahaya, tetapi ketimpangan dan keterkejutan sosial yang ditimbulkannya.

Saya percaya bahwa keseimbangan antara nilai lama dan tuntutan baru adalah kunci menghadapi perubahan. Kita tidak bisa menolak teknologi, tapi kita bisa menentukan bagaimana kita menggunakannya. Kita tidak bisa memaksakan semua warga kembali ke cara lama, tapi kita bisa menciptakan ruang baru yang tetap menghormati kearifan lokal.

Mari kita Bergerak Bersama, Bukan Terpecah

Perubahan sosial adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Ia datang tanpa permisi, kadang lembut, kadang mengguncang. Yang menjadi tantangan bukanlah bagaimana menghindarinya, tetapi bagaimana mengelola dan mengarahkannya agar tetap memberi manfaat bagi sebanyak mungkin orang.

Kita harus belajar bahwa perubahan sosial adalah proses yang kompleks namun penting. Kita hanya perlu jeli membaca perubahan, tanggap terhadap sinyal ketidakseimbangan, dan proaktif dalam memperkuat institusi sosial di tengah arus perubahan.

Agar perubahan tidak membawa disintegrasi, perlu ada kolaborasi antara semua elemen masyarakat: pemerintah, pendidik, tokoh adat, pemuda, dan warga biasa. Semua pihak harus menjadi bagian dari proses ini. Karena perubahan tidak akan pernah bisa dihentikan, tetapi bisa diarahkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun