1. Adaptation (A) – Kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan kondisi eksternal, seperti perkembangan teknologi atau perubahan iklim ekonomi. Contoh nyata dari fungsi ini adalah bagaimana masyarakat menyesuaikan cara bekerja dengan sistem daring saat pandemi, atau bagaimana UMKM lokal kini mulai mengandalkan promosi digital untuk bertahan.
2. Goal Attainment (G) – Kemampuan sistem untuk menentukan dan mencapai tujuan bersama. Misalnya, pembangunan desa wisata sebagai upaya mencapai kesejahteraan ekonomi bersama. Jika tidak disertai peran bersama yang jelas, tujuan ini bisa gagal.
3. Integration (I) – Mekanisme yang menyatukan unsur-unsur dalam masyarakat agar tidak terjadi konflik atau disorganisasi. Ketika konflik antar generasi muncul akibat perbedaan cara pandang terhadap media sosial, fungsi integrasi perlu hadir dalam bentuk dialog lintas usia, forum warga, atau peran tokoh masyarakat yang menjadi jembatan komunikasi.
4. Latency (L) – Fungsi pelestarian nilai dan motivasi yang menjadi fondasi moral masyarakat, seringkali dijalankan oleh institusi keluarga dan agama. Dalam masyarakat tradisional, fungsi ini kuat, namun dalam masyarakat modern, peran ini kerap melemah karena distraksi budaya luar yang tak selalu sesuai dengan nilai lokal.
Dari kerangka AGIL ini, Parsons ingin menunjukkan bahwa perubahan sosial yang terjadi secara tiba-tiba atau drastis bisa mengganggu keseimbangan sistem jika tidak diiringi dengan penyesuaian pada fungsi-fungsi lainnya. Oleh karena itu, perubahan yang ideal menurut Parsons adalah perubahan yang berlangsung secara gradual, terstruktur, dan tetap mempertahankan stabilitas sosial.
Dengan menggunakan kacamata teori ini, kita dapat memahami berbagai fenomena di sekitar kita bukan sebagai bentuk kemunduran atau krisis, melainkan sebagai proses adaptasi sistemik dari masyarakat terhadap dinamika zaman. Teori ini mengajak kita untuk tidak semata-mata menerima atau menolak perubahan, tetapi memahaminya sebagai bagian dari strategi bertahan masyarakat.
Fenomena Perubahan Sosial di Lingkungan Sekitar
Untuk melihat bagaimana konsep Parsons relevan, saya ingin membagikan beberapa perubahan nyata yang terjadi di desa tempat saya tinggal. Sebuah desa yang dulunya sederhana dan kuat dalam nilai kekeluargaan, kini mulai mengalami pergeseran karena masuknya teknologi dan budaya luar. Apa yang dulu dianggap sebagai norma, kini perlahan bergeser menjadi “pilihan hidup”. Nilai-nilai kolektif mulai digantikan oleh kepentingan individu, dan keterikatan emosional antar tetangga mulai tergantikan oleh sekat-sekat virtual.
1. Perubahan Pola Interaksi Sosial
Interaksi sosial yang dulu akrab kini mulai renggang. Dahulu, setiap sore warga berkumpul di pos ronda atau warung kopi, berbincang tentang tanaman, ternak, hingga kondisi politik. Kini, pemandangan itu mulai langka. Banyak warga lebih nyaman berinteraksi melalui grup WhatsApp desa ketimbang bertemu langsung. Bahkan saat musyawarah RT pun, kadang hanya diwakilkan via pesan singkat.
Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa fungsi integrasi (I) dalam teori Parsons sedang mengalami tekanan. Interaksi yang menjadi perekat sosial kini digantikan oleh komunikasi virtual yang lebih cepat tapi lebih dingin. Banyak kesalahpahaman muncul karena hilangnya ekspresi, nada, dan konteks yang dulunya hadir saat tatap muka. Hubungan yang dulunya cair, kini menjadi fungsional dan seringkali transaksional.
2. Perubahan Peran Keluarga dan Pendidikan
Perubahan dalam institusi keluarga menjadi sorotan utama. Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat kini dihadapkan pada tantangan baru. Jika dulu orang tua mendidik anak secara langsung dengan pendekatan nilai dan budaya lokal, kini banyak orang tua menyerahkan sebagian besar proses pendidikan anak kepada media digital.