Mohon tunggu...
Dhe Amanda
Dhe Amanda Mohon Tunggu... editor, penulis lepas, dan konselor sebaya -

Menulis karena saya suka. Seorang editor, penulis lepas, konselor sebaya, dan saat ini sedang merawat ibu yang menderita Alzheimer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Aku dan Pangeran Tampan

23 Juni 2013   18:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:32 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nah, itu dia datang!

Tubuhku segera menempel ke ambang jendela dengan bersemangat. Dari balik kaca jendela yang bening, aku memandangi kehadirannya.

Astaga, ia tampan sekali! Baru sekali ini aku melihat makhluk setampan dirinya. Oh, wow, lihat caranya berjalan, gagah dan sekaligus anggun. Lihat tubuhnya, langsing dan atletis… pasti dia rajin berolahraga!

Kalau kau mau tahu seperti apa rupanya, pangeranku ini (aku suka menjulukinya demikian, hehe) masih lebih tampan ketimbang pangeran yang kemarin dideportasi dari negara tetangga lantaran dianggap terlalu tampan itu. Padahal, pangeran yang kemudian jadi perbincangan para wanita sejagad itu bukan satu-satunya makhluk tertampan. Lihatlah buktinya di sini, masih ada yang lebih tampan! Untung negaraku tidak anti kepada makhluk tampan sehingga aku bisa bertemu dengannya.

Aku memandangnya dengan terpesona. Memberi tatapan aku-suka-padamu.

Tapi….

Kaca ini menghalangi diriku dan dirinya. Ia tak bisa melihatku dari sini. Huh. Dengan gemas, kaca ini kupukul-pukul. Grrr! Gara-gara sebongkah benda setebal setengah inci ini, aku jadi tidak bisa menyapa pangeranku.

Oh! Pangeranku bergerak mendekat ke arahku, dan lihat…. Sekarang ia berdiam diri menatap kemari. Menatapku kah? Ow, jantungku rasanya berhenti berdetak. Melihat wajahnya yang tampan itu. Mutlak sudah aku jatuh cinta padanya.

“Hai”, panggilku, dari balik kaca, tanpa suara (karena suaraku mendadak hilang di kerongkongan). “Aku ada di sini.”

Kulambaikan jemariku kepadanya, berharap dia mendengar suaraku.

Tapi…. Sepertinya ia tidak mendengarku. Hal yang sudah bisa kuduga. Ia melengos, meninggalkanku.

Uh, pangeranku, aku di sini!

“Manis!”

Sebuah suara memanggil. Itu suara pelayanku. Ia selalu memanggilku “manis” sejak hari pertama mulai bekerja di rumah kami. Sekalipun ibu sudah memberitahu namaku yang sesungguhnya, ia tetap bersikeras memanggilku dengan nama julukan. Menurutnya aku adalah anak manis dan penurut. Ia memberi julukan itu karena menyukaiku.

Karena ia baik dan sangat memanjakanku pula, maka aku pun tidak keberatan dengan nama julukan tersebut.

“Manis, kemarilah. Aku membawakan makanan cemilan kesukaanmu,” panggilnya sambil meletakkan sebuah mangkok berisi camilan gurih di meja.

“Hmm,” aku suka makanan ini. Aku mendekat. Memakan sedikit demi sedikit keripik itu, lalu, uh, aku teringat kembali dengan pangeranku. Semoga ia masih berada di sekitar sini.

Aku ingin keluar. Aku ingin menjumpai pangeranku. Bisakah aku keluar sebentar?

Aku tahu, pelayanku sangat patuh kepada perintah ibu. Pesan ibu adalah aku harus selalu berada di dalam rumah. Ibu tidak ingin aku terluka atau terkena kuman-kuman penyakit. Diriku memang agak rapuh.

“Manis, ingin kemana kau?” pelayan mengejarku. Dalam beberapa langkah saja ia sudah bisa mencapai diriku.

“Aku ingin keluar,” kataku pada pelayan. Sayang, ia tidak memahami maksudku.

Ia memelukku dan membawaku kembali ke meja makan. “Makanlah ini.”

Tapi aku menolak. Aku sudah kenyang. Aku ingin keluar.

“Ah, Manis, nafsu makanmu sedang menurun rupanya.” Ia masih mencoba menyuruhku makan.

Suara langkah kaki mendekati pintu kamarku, disusul dengan suara yang paling kuakrabi.

“Halo, anakku yang manis…”

Itu suara ibuku. Aku berlari kepadanya. Ibu baru pulang kantor dan ia langsung menjumpaiku, seperti kebiasannya.

Ibu membelai kepalaku dan menciumiku. “Manis, apa kabar sore ini?” sapanya, memanggil nama julukanku. Sekarang, ibu pun lebih suka dengan nama julukan itu ketimbang nama asliku.

Huh.

“Bu, aku ingin keluar,” pintaku, berharap ibu menurutiku.

“Ya, nanti setelah Ibu mandi kita berjalan-jalan keluar,” kata ibuku.

“Tapi aku ingin keluar sekarang,”erangku.

Ibu tidak terlalu memperhatikan ocehanku. Karena persis saat itu telepon di sudut ruang, berdering. Ibu meninggalkanku sebentar.

Bagus!

Sekarang aku sendirian. Ibu sedang menerima telepon dan pelayanku sedang ke dapur. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan. Aku berlari ke ujung lorong.

Wow, nasibku sedang baik, pintu depan tidak tertutup rapat. Ada celah yang bisa kugunakan untuk keluar.

Dan… Yes!

Aku menari kegirangan. Yuhuu! Aku sudah berada di beranda. Aku sudah keluar. Sekarang waktunya mencari tahu di mana pangeranku berada.

Kutengokkan kepala kanan dan kiri mencari di mana gerangan pangeran tertampan sejagadku ini berada.

Ah, itu dia di sana, sedang berjalan-jalan di sekitar taman bunga kami.

Aku ingin menyapa dia. Semoga ia mendengar sapaanku.

“Meooonggg!”

“Meoooonnggg!” balasnya.

Dia berhenti sebentar. Melihat kepadaku. Lalu, inilah yang paling menyenangkan, ia memutuskan mendekatiku.

Uhuk-uhuk, aku jadi salah tingkah sendiri ketika ia semakin dekat ke arahku. Kali ini kami tidak sedang dibatasi oleh jendela kaca. Aku harus apa sekarang?

Kurasa duduk sopan dan tersenyum dengan senyum paling manis bisa meyelamatkanku dari rasa malu yang amat sangat ini. Aku tidak menduga wajahku jadi menghangat ketika bisa berada sedekat ini dengannya.

“Manis, di mana kau?”

Suara pelayanku memanggil. Aku pura-pura tuli.

Pelayanku sampai di beranda depan. Dan, melihatku sedang duduk bersama pangeranku.

“Ohh, Buuu, rupanya Manis sekarang sudah mulai pacaran dengan kucing sebelah.”

“Apaaa?” Kali ini ibu pun ikut-ikutan keluar untuk melihat sendiri. “Oalahh, Manisku sekarang sudah dewasa!”

Aku masih pura-pura tuli.

Namun, anehnya sesaat kemudian mereka sepakat untuk meninggalkanku berdua dengan pangeran ini. Baiklah, sekarang sudah tidak ada lagi yang menghalangi kami, dan aku senang karena pangeranku menyukaiku.

(created by amanda_mulyohadi, at rumah gajah, mid june 2013)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun