Selain pesona yang dipunyai oleh gedung MARBA, ada satu alasan lain yang membuatku betah berlama-lama di tempat itu. Sebenarnya satu alasan itu adalah alasan utama.
Malam itu aku bermaksud melukis kota lama yang ramai. Muda-mudi memadu kasih, penjual kaki lima, lalu lalang kendaraan, bulan yang menampakkan bentuk utuhnya. Kutempatkan diriku di posisi yang strategis, di Taman Srigunting.
Mataku menangkap seorang wanita cantik keturunan campuran sedang duduk di sebuah kursi tepat di depan MARBA sambil menghisab rokok dengan lipstik merah merona melebihi merahnya cat gedung tua itu. Tampak gelisah, seperti ada seseorang yang sedang ditunggunya namun tak kunjung datang. Sesekali dia melempar pandangannya ke arahku dengan sedikit senyum yang dipermanis. Dia mengenakan dress tanpa lengan berwarna gelap dengan motif bunga-bunga, dalam posisi duduk di kursi terlihat lekukan yang memisahkan antara paha dan betisnya. Dress yang dikenakannya terbuat dari bahan yang sangat tipis, setipis nyaliku untuk membalas senyuman itu.
Dia berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan ke arahku. Begitu cantik, dengan gaya berjalan yang sangat anggun. Wajahnya mampu memancing lelaki untuk berfikiran kotor, tangan kirinya menyibak rambut panjangnya sedangkan tangan kanannya enggan berpisah dari rokoknya.
“Apa yang sedang kamu lakukan disini, bocah nakal?”
“Aku sedang melukis, nona. Apa nona mau kulukis?”
“Apa yang membuatmu berfikiran seperti itu?”
“Kamu terlihat begitu cantik di tengah-tengah keramaian kota lama.” Aku menjawabnya dengan sedikit salah tingkah.
Wanita itu meniupkan asap rokoknya ke wajahku, dan tertawa seolah dia baru saja memenangkan lotre. “Kalau aku tidak cantik, orang tidak akan mau membayarku dengan harga yang mahal. Kecantikanku yang menafkahiku.”
“Aku akan membayarmu jika kamu mau menjadi objek lukisanku.”
Sesaat setelah menghisab rokok, wanita itu memperkenalkan diri, “Namaku Tania.”