Mohon tunggu...
Mex Rahman
Mex Rahman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Son-Brother-Friend

Bermimpi tiduri Monica Bellucci

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tania

19 Januari 2015   18:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:49 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1421638817948852671

Hay, kau boleh memanggilku Jack, tapi itu bukan namaku. Teman-teman kuliahku yang memberikan nama itu. Mereka memanggilku Jack, Jack Dawson. Terdengar seperti nama yang digunakan Leonardo Di Caprio dalam film Titanic. Itu bukan karena aku memiliki wajah yang mirip dengannya, tapi karena menurut mereka aku memiliki kebiasaan yang hampir mirip dengannya, melukis sketsa wanita telanjang. Terdengar lucu, tapi itulah yang terjadi. Aku senang mereka memanggilku Jack, aku harap itu memang namaku. Dan sekarang itu jadi namaku.

Waktu kecil, aku siswa terbaik di sekolah. Bukan karena aku suka belajar, tapi kurasa pendidikan adalah jalan keluar terbaik untuk pergi dari rumah. Tak ada yang salah dengan rumahku, itu hanya sebuah rumah yang membosankan melebihi yang lainnya. Sebuah rumah yang dihuni oleh 3 orang, Papa, Mama dan aku.

Aku sangat menyayangi Papa, tapi aku tak mau menjadi seperti dirinya. Dia orang yang berwajah serius dan selalu gelisah. Angka adalah hidupnya, dia adalah seorang akuntan. Dia mengharapkan aku akan meneruskan usaha yang dibangunnya. Tapi aku mempunyai rencana yang lebih besar darinya, menjadi seorang pelukis.

Mama mendukung cita-citaku, namun Papa tak pernah menyetujuinya. Itu benar-benar menghancurkan rencana besarku. Dan itu kobarkan kebencian diantara aku dan Papa. Sejak saat itu, kuputuskan setelah lulus SMA aku pergi dari rumah untuk menggapai cita-citaku dengan caraku sendiri. Mungkin itu juga akan hancurkan rencana besar Papa.

←♥→

Kuakui, kesepianku dan obsesiku pada lukisan memicu angan-anganku. Kesepian dan obsesi itu yang akhirnya membawaku ke tempat ini. Sebuah tempat yang berisi gedung-gedung kuno yang megah, eksotis dan klasik peninggalan masa kolonial. Jalanan yang terbuat dari paving. Tempat itu dikelilingi kanal-kanal air. Lampu-lampu jalan yang tinggi menjulang begitu serasi dengan kilau sinar bulan di malam hari. Kemewahan dan kemegahan bangunan Eropa masa lampau dapat dilihat langsung disini. Penduduk setempat menamainya Kota Lama, ada juga yang menyebutnya Little Netherland.

Ketika siang hari, kau akan menemukan tempat ini terlihat biasa-biasa saja. Hanya lalu lalang kendaraan memadati  jalan, pedagang-pedagang kaki lima dan gedung-gedung tua yang kini menjadi perkantoran dan kawasan bisnis. Namun suasana berubah drastis di malam hari. Kota Lama begitu cantik dengan sorot sinar bulan. Di saat inilah, kota lama dipenuhi para muda-mudi, pedagang, wisatawan, serta fotografer.

Dari sekian banyak bangunan-bangunan kuno disana, Gereja Blendug adalah yang paling populer. Sebuah gereja yang berbentuk heksagonal dengan atap kubah besar dilapisi perunggu berwarna merah, sangat kontras dengan dindingnya yang berwarna putih. Empat pilar kokoh dan menara kembar yang beridiri di depannya menambah kesan eksotis gereja ini. Konon katanya, gereja ini adalah yang tertua di provinsi ini.

Gedung ini menjadi tempat faforit nongkrong anak muda seusiaku. Bentuknya yang indah serta klasik, membuat gedung ini sering digunakan sebagai tempat pemotretan pasangan yang akan menikah.

←♥→

Meski Gereja Blendug menjadi tempat favorit bagi para anak muda sesusiaku dan tempat favorit para fotografer serta sejoli yang sedang melaksanakan pemotretan pre wedding, namun itu tidak berlalu bagiku. Aku lebih tertarik dengan sebuah gedung kosong yang berdiri tegak tidak jauh dari Gereja Blendug yang terletak berseberangan dengan Taman Srigunting. Sebuah gedung tua yang dulunya digunakan sebagai kantor usaha pelayaran, Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL) . Gedung tua itu berwarna merah marun yang sangat khas, memiliki dua lantai dengan tebal dinding 20-an cm dan di depannya ditumbuhi pohon-pohon besar yang menyejukkan terkesan begitu cantik, eksotis, artisitik dan mewah. Gedung itu diberi nama MARBA sesuai dengan nama orang  yang memprakarsainya, seorang saudagar kaya raya asal Yaman, Marta Badjunet. Di tempat itu aku banyak menghabiskan waktu.

Selain pesona yang dipunyai oleh gedung MARBA, ada satu alasan lain yang membuatku betah berlama-lama di tempat itu. Sebenarnya satu alasan itu adalah alasan utama.

Malam itu aku bermaksud melukis kota lama yang ramai. Muda-mudi memadu kasih, penjual kaki lima, lalu lalang kendaraan, bulan yang menampakkan bentuk utuhnya. Kutempatkan diriku di posisi yang strategis, di Taman Srigunting.

Mataku menangkap seorang wanita cantik keturunan campuran sedang duduk di sebuah kursi tepat di depan MARBA sambil menghisab rokok dengan lipstik merah merona melebihi merahnya cat gedung tua itu. Tampak gelisah, seperti ada seseorang yang sedang ditunggunya namun tak kunjung datang. Sesekali dia melempar  pandangannya ke arahku dengan sedikit senyum yang dipermanis. Dia mengenakan dress tanpa lengan berwarna gelap dengan motif bunga-bunga, dalam posisi duduk di kursi terlihat lekukan yang memisahkan antara paha dan betisnya. Dress yang dikenakannya terbuat dari bahan yang sangat tipis, setipis nyaliku untuk membalas senyuman itu.

Dia berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan ke arahku. Begitu cantik, dengan gaya berjalan yang sangat anggun. Wajahnya mampu memancing lelaki untuk berfikiran kotor, tangan kirinya menyibak rambut panjangnya sedangkan tangan kanannya enggan berpisah dari rokoknya.

“Apa yang sedang kamu lakukan disini, bocah nakal?”

“Aku sedang melukis, nona. Apa nona mau kulukis?”

“Apa yang membuatmu berfikiran seperti itu?”

“Kamu terlihat begitu cantik di tengah-tengah keramaian kota lama.” Aku menjawabnya dengan sedikit salah tingkah.

Wanita itu meniupkan asap rokoknya ke wajahku, dan tertawa seolah dia baru saja memenangkan lotre. “Kalau aku tidak cantik, orang tidak akan mau membayarku dengan harga yang mahal. Kecantikanku yang menafkahiku.”

“Aku akan membayarmu jika kamu mau menjadi objek lukisanku.”

Sesaat setelah menghisab rokok, wanita itu memperkenalkan diri, “Namaku Tania.”

“Panggil saja aku Jack.”

“Dalam bahasa Ibrani, Jack berarti anugrah Tuhan yang paling indah.” Perkataannya sengaja dilembut-lembutkan dan ditambahi dengan desahan lembut yang membuatku semakin bernafsu.

Dia menemaniku sampai aku menyelesaikan lukisanku yang objeknya adalah dirinya. Sampai malam semakin larut, ketika jalan-jalan di kota lama mulai sepi dan sebagian besar pedagang kaki lima mulai mengemasi barang dagangannya, aku pun mulai mengemasi peralatan melukisku.

Aku mengajaknya mampir di kost-ku namun dia menolaknya. Lalu aku memberinya tawaran baru, mengajaknya ke sebuah losmen kelas rendahan yang bertempat tidak terlalu jauh dari gedung MARBA, letaknya di depan stasiun. Dan kemudian,, bingo!!!

Tak butuh waktu lama, aku dan dirinya mulai menunaikan hajat. Kutumpahkan seluruh hasratku yang sudah tak mampu kutahan sejak pertama kali melihatnya, di atas tubuh mulusnyanya. Dia membiarkan aku melakukannya, tampak  jelas dia begitu menikmatinya. Dia bagaikan stallion, begitu liar begitu berhasrat. Aku terus “menghajarnya” dan pada akhirnya aku berhasil meruntuhkan pertahannya. Begitu indah. Dinding kamar losmen murahan dan sprei putih yang hampir berubah warna menjadi coklat jadi saksi romantisme malam itu.

Malam-malam berikutnya dia tidak menolak pada setiap pertemuan yang kuatur di depan gedung tua MARBA. Tapi kemudian aku terjerat pada jaringku sendiri. Aku menemukan diriku jatuh hati padanya dan aku mengejar cintanya. Inilah untuk pertama kalinya aku merasa bahagia sejak meninggalkan rumah. Sampai pada malam itu. Menurut perhitunganku malam itu adalah malam ke-7, aku mulai merusak suasana dengan mengatakan sesuatu yang bodoh.

“Aku mencitaimu, Tan.”

Tania yang sedang menghisap rokok, sontak batuk-batuk mendengar perkataanku.

“Kuharap angin malam tidak membuatmu sakit Jack.”

“Tidak, aku serius. Bersamamu aku merasakan cinta, ketika jauh darimu kurasakan rindu, kamu hapuskan semua sepi di hidupku. Aku jatuh hati padamu dan lebih dari itu, aku bahagia bersamamu.”

Sambil tertawa sedikit yang terkesan mengejek, wanita itu berkata, “Hehm cinta!! Cinta membuatku tidak profesional. Aku tidak bisa jatuh cinta pada siapa pun.”

Mendengar jawaban Tania, aku hanya bisa diam. Aku merasa seperti seorang pecundang. Lama kami berdua terdiam.

Tania berdiri. Lalu wanita keturunan campuran itu berpesan, “Lupakan Tania, Jack. Tania hanya bayangan. Bahagiamu kamu sendiri yang bisa buat. Kamu sendirilah yang mampu hapuskan sepimu, bukan Tania.”

Sejenak dia diam, lalu melanjutkan kembali kata-katanya, “Kamu masih muda jangan kau sia-siakan hidupmu. Gapailah cita-citamu, jalinlah hubungan dengan wanita baik-baik. Berdamailah dengan kedua orang tuamu. Tania tidak bisa lebih lama lagi disini. Tania harus pergi.”

Aku tidak bisa menghalangi laju jalan Tania yang sangat cepat. Dia berjalan ke arah gang sempit di sebelah MARBA lalu menghilang diantara pekatnya malam. Aku hanya terdiam, mencoba menahan jatuhnya air mata. Entah sampai kapan aku sanggup menahannya.

Setelah itu, ketemukan semuanya kembali seperti semula, sepi.

←♥→

Malam berikutnya aku kembali ke tempat itu. Berusaha untuk kembali menemui Tania. Namun semua usahaku gagal, Tania hilang seperti ditelan bumi. Lelah mencari, perut terasa lapar. Aku mampir di sebuah warung nasi koyor depan MARBA.

Warung sedang dalam keadaan sepi, penjualnya seorang wanita yang sudah sangat tua. Tubuhnya kecil dan kurus, meski begitu dia sama sekali tidak terlihat bungkuk. Seluruh rambutnya berwarna putih, seputih kapas. Namun sangat rapi dengan tusuk konde yang terbuat dari emas. Meski kulitnya sudah keriput, namun masih terpancar sisa-sisa kecantikan masa mudanya. Kebaya berwarna hijau tampak begitu anggun melekat di tubuh bagian atas. Sedangkan bawahnya ditutup dengan selembar kain jarik batik.

“Nek, apa nenek kenal dengan Tania? Perempuan yang setiap malam duduk di depan sini.”

“Kau melihatnya?”, suaranya lembut dan berwibawa.

“Sudah seminggu aku bersamanya setiap malam, disini.”

“Apa dia bertambah tua?”

Aku bingung dengan maksud pertanyaannya, “Dia masih sangat muda dan cantik.”

“Ternyata dia benar-benar menepati janjinya??”

Semakin bingung aku dengan ucapan nenek itu.

Nenek itu tersenyum lalu kembali berceloteh, “Dia tidak pernah berubah, sejak dulu memang dia yang paling cantik.”

Nenek itu diam sejenak lalu melanjutkan perkataannya, kali ini dia menyampaikannya penuh dengan perasaan, “Tania adalah sahabatku sejak masih kanak-kanak. Dia adalah keturunan campuran, ayahnya seorang Belanda dan ibunya seorang Cina. Dia sangat cantik, baik dan periang. Namun serdadu-serdadu Jepang yang berhasil menduduki kota merenggut keceriaan mas mudanya dan banyak pemudi lainnya. Tania dan yang lain dijadikan tentara Jepang sebagai wanita penghibur disini termasuk aku. Aku selalu bersamanya, mengalami nasib yang sama, menjadi wanita penghibur prajurit-prajurit Jepang.  Tania meninggal di usianya yang masih muda, 24 tahun. Sebuah peluru tentara Jepang menembus keningnya sesaat setelah dia menolak bercinta dengannya.”

Aku hanya diam mendengar penuturan nenek. Dan kemudian aku baru menyadari bahwa selama ini aku bercinta dengan hantu.

Nenek itu melanjutkan ceritanya, “Beberapa hari sebelum dia meninggal, dia mengatakan bahwa dia akan selalu disini, menghibur laki-laki yang sedang merasa sepi. Meski tak semua lelaki kesepian yang dia temaninya, namun kamu bukan lelaki pertama yang ditemuinya. Seingatku sudah sekitar 12 pria menanyakannya kepadamu sebelum kamu menanyakan hal yang sama itu.”

Aku mencoba mengingat kembali pesan terakhir Tania di depan gedung tua MARBA, “Tania hanya bayangan. Bahagiamu hanya kamu sendiri yang bisa buat. Kamu sendirilah yang mampu hapuskan sepimu” Kini aku baru mengerti maksud pesan itu. Dia benar-benar telah memenuhi janji yang dibuatnya sebelum meninggal, menghibur lelaki kesepian dan lebih dari itu kini aku lebih bisa menghargai keberadaanku di dunia ini. Aku bangkit dari dudukku dengan hati seringan kapas. Bergegas membayar makanan yang belum habis kusantap lalu berjalan keluar dari warung.

Belum sepenuhnya tubuhku meninggalkan warung, nenek itu memanggilku, “Anak muda, kalau kau bertemu lagi dengannya tolong sampaikan salamku padanya. Aku sangat rindu dengan dia.”

Aku menoleh dan tersenyum sambil menganggukkan kepala.

←♥→

Hari demi hari setelah kejadian di depan gedung MARBA, aku menjalani hidup dengan lebih tertata dan lebih sehat. Sedikit demi sedikit aku mampu meninggalkan minuman keras. Aku mulai bergaul dengan teman-teman kuliah dan beberapa teman di luar kampus yang mempunyai kepribadian yang jauh lebih sopan jika dibandingkan denganku. Aku tidak tidur terlalu larut malam lagi. Dan yang ini patut untuk kubanggakan, aku bisa bangun pagi. Sambil terus melukis, aku mulai belajar tentang angka-angka, siapa tahu suatu saat nanti berguna untuk mewujudkan rencana besar Papa. Aku tak mau menyia-nyiakan hidupku lagi. Kini aku tak merasa sepi. Tania benar, aku telah membuat kebahagiaan untuk diriku sendiri. Berapa anak muda yang bisa mengatakan bahwa dirinya bahagia,,,,,, dengan sebenar-benarnya?

Sore itu selepas kuliah, bersama beberapa teman pergi ke Kota Lama untuk sekedar bermain-main. Tepat di depan gedung tua MARBA, seorang perempuan cantik yang ditemani seorang wanita yang lebih tua, kukira itu ibunya keluar dari mobilnya. Kulihat plat nomornya menunjukkan mereka berasal dari luar kota. Aku yang kebetulan sedang berada di dekatnya menjadi sasarannya untuk menanyakan sesuatu.

Sambil menunjukkan selembar kertas, perempuan itu menanyakan sesuatu padaku dengan gaya sedikit malu-malu, “Maaf mas numpang tanya, kalau mau ke alamat ini lewat mana ya?” Di kertas itu tertulis sebuah alamat yang berlokasi yang kebetulan aku sangat paham.

“Dari sini lurus terus mbak. Nanti ada lampu merah belok kanan. Terus lurus aja sampai ketemu stasiun. Dari stasiun belok kanan, lalu lurus sampai ketemu lampu merah lagi terus belok kiri. Maju dikit ada pintu perlintasan kereta api setelah itu belok kiri. Maju dikit ada mini market sebelah mini itu sudah perumahan yang mbak cari."

Gadis itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Tidak lama, mereka berdua bergegas menuju mobil. Belum jauh mereka meninggalkanku, aku memanggilnya. “Maaf mbak, namaku Jack. Ini kartu nama saya. Jika butuh bantuan hubungi saja aku. Gratis tidak dipungut biaya. Hehehe?”

Sambil tersenyum manis (tidak dibuat-buat), gadis itu menjawab, “Iya mas, terimakasih. Ini mama saya dan nama saya Tania.”

THE END

Gambar: surealdreamer.blogspot.com dan sekepinghati.mywapblog.com lalu kuedit lagi.

Saloom,

—Mex'r

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun