Mentari di awal Mei selalu saja memerah di ubun-ubun para pekerja
Tidak ada mawar yang bermekaran, hanya ada spanduk baru di jemari lelah yang memeluk keinginan
Selalu saja ada sepi di hati para buruh, dan bunga-bunga layu ditinggal harapan kedamaian
Di jalanan teriakan bergema dari kerongkongan parau yang coba mengetuk nurani
Tapi hanya membentur tembok-tembok yang dibangun dari keringat mereka yang berteriak
Di parlemen tempat suara harus bermuara, mereka masih bercengkrama sambil mengolah narasi dan siasat
Di sini di dada para pekerja ada dekapan suhu panas yang entah terasa atau tidak di ruang elit para pembesar negeri
Mungkin karena warisan regulasi yang dulu lahir dari antah berantah masih disimpan sebagai jimat kongkalingkong pemilik modal
Hingga langkah-langkah kaki para buruh masih betah menyusuri setiap sudut jalanan tempat suara bisa digaungkan
Dinding-dinding kekuasaan masih teramat kuat menutupi telinga dari suara-suara jernih keadilan
Telinga mereka pekak dipenuhi gemerisik dari
suara mereka yang hanya bicara untuk status quo
Dan bila saatnya nanti, peringatan Mayday hanya tinggal kenangan yang bisa dibawa pulang
Mungkin itu adalah cerita dari anak-anak cucu di masa datang, yang entah kapan terjadi...
Duhai... Tuan pembesar negeri, keringat kami itu tidak asin tuan! Keringat kami ini pahit!!!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI