Artikel sebelumnya yang telah tayang di Kompasiana, "Menyambut Akhir Pekan dengan Optimisme: Rupiah dan IHSG Menguat di Tengah Bayang-Bayang Global", menandai momen ketika pasar menunjukkan kepercayaan terhadap arah kebijakan dan stabilitas domestik.Â
Rupiah dan IHSG sama-sama menguat, bukan semata karena faktor teknikal, tetapi karena partisipasi investor asing dan narasi kebijakan yang terukur.
Kini, tekanan eksternal datang tiba-tiba. Retorika Trump mengguncang pasar, dan rupiah kembali diuji. Namun tekanan ini bukan akhir dari optimisme. Ia adalah ujian dari ketahanan yang telah dibangun.Â
Jika ketegangan AS-China mereda, aset berisiko seperti rupiah berpotensi rebound. Fundamental domestik Indonesia masih cukup kuat, dan kebijakan moneter Bank Indonesia tetap konsisten menjaga stabilitas.
Politik atau Strategi? Membaca Manuver Trump
Sebagian pelaku pasar menilai ancaman Trump sebagai langkah politik menjelang pemilu AS. Retorika keras terhadap China bukan hal baru, dan sering digunakan sebagai alat mobilisasi dukungan domestik. Namun dampaknya tetap nyata.Â
Ketika pasar bereaksi, mata uang tertekan, dan eksposur terhadap aset berisiko dikurangi, kita tidak bisa hanya menyebutnya "manuver politik." Kita harus membaca implikasinya secara strategis.
Bagi Indonesia, ini adalah ujian ketahanan. Apakah fundamental ekonomi cukup kuat untuk menahan tekanan eksternal? Apakah kebijakan moneter dan fiskal mampu menjaga stabilitas di tengah badai geopolitik?
Refleksi: Ekonomi Sebagai Narasi Publik
Pernyataan politik yang mengguncang pasar bukan hanya urusan analis dan investor. Ia adalah bagian dari narasi publik yang perlu dipahami bersama.Â
Ketika rupiah tertekan, itu bukan sekadar soal kurs. Itu adalah sinyal tentang arah kebijakan, persepsi global, dan daya tahan kita sebagai bangsa.