Bata: Jejak Sepatu, Jejak Zaman
"Sepatu Bata bukan sekadar alas kaki, tapi ia adalah jejak harapan, disiplin, dan kebanggaan masa sekolah yang tak lekang oleh waktu." Â
> Kenangan generasi 70--80'an
Di antara aroma sabun colek dan semangat tahun ajaran baru, sepatu Bata pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari masa kecil kita. Ia bukan sekadar alas kaki, melainkan penanda status, simbol harapan, dan saksi bisu perjalanan hidup.Â
Kini, setelah lebih dari sembilan dekade menjejakkan solnya di tanah air, Bata tinggal menunggu menjadi kenangan.
Dari Zlin ke Kalibata: Jejak Global yang Membumi
Bata lahir pada tahun 1894 di Zlin, Moravia - kini bagian dari Republik Ceko. Didirikan oleh tiga bersaudara Bata, perusahaan ini menjadi pelopor produksi massal sepatu di Eropa, mengadopsi prinsip Fordisme untuk menghadirkan sepatu berkualitas dengan harga terjangkau.Â
Visi mereka sederhana namun revolusioner: sepatu bukan hanya untuk kaum elite, tapi untuk semua kalangan.
Ekspansi global membawa Bata ke berbagai penjuru dunia. Di India, mereka membangun Batanagar. Di Kanada, mereka mendirikan Batawa.Â
Dan di Indonesia, mereka menjejakkan kaki pada tahun 1931 sebagai importir, lalu mendirikan pabrik pertama di Kalibata, Jakarta Selatan, pada 1939.Â
Nama "Kalibata" sendiri diyakini berasal dari "Kali" dan "Bata", jejak linguistik yang tak disengaja namun abadi.
Bagi generasi 70--80'an, sepatu Bata adalah bagian dari ritual tahunan. Menjelang tahun ajaran baru, anak-anak diajak ke Toko Bata oleh orang tua.Â
Di sana, di antara rak-rak kayu dan pencahayaan hangat, mereka memilih sepatu dengan hati-hati. Model tali atau slip-on? Hitam mengilap atau cokelat klasik?
Membeli sepatu Bata adalah momen prestise. Ia bukan barang murah, tapi juga bukan barang mewah. Ia berada di tengah, cukup terjangkau, namun tetap memberi rasa bangga. Anak-anak yang mengenakan sepatu Bata ke sekolah melangkah dengan percaya diri.Â
Sepatu itu dirawat dengan penuh cinta: disikat sabun colek, dijemur, lalu dipoles dengan kiwi hitam hingga mengilap. Ia menjadi simbol anak yang rapi, rajin, dan siap menjemput masa depan.
Di Perguruan Katolik Santa Maria, tempat saya menempuh pendidikan, kami memiliki dua sepatu sekolah: satu berwarna putih untuk hari-hari biasa, dan satu berwarna hitam untuk kegiatan pramuka dan lapangan.Â
Sepatu putih dicuci setiap pekan, lalu disemir dengan kapur pemulih warna agar tetap cerah. Sepatu hitam disediakan dengan cairan semir khusus yang membuatnya mengilap dan kokoh.Â
Dua sepatu itu bukan sekadar perlengkapan, tapi bagian dari disiplin, estetika, dan kebanggaan sebagai pelajar.
Simbol Masa Sekolah yang Tak Terlupakan
Gambar sepatu Bata Bullets putih yang saya unggah di awal artikel adalah representasi kuat dari kenangan masa sekolah. Desainnya sederhana: kanvas putih, sol karet, dan garis merah-hitam di sisi midsole.Â
Tapi di balik kesederhanaan itu, tersimpan cerita tentang anak-anak yang bangun pagi, menyikat sepatu dengan sabun colek, dan melangkah menuju gerbang sekolah dengan semangat baru.
Sepatu ini adalah jejak waktu. Ia tahu jalan ke perpustakaan, ke lapangan pramuka, ke ruang kelas yang penuh cita-cita.Â
Dan kini, ketika Bata menghentikan produksi lokalnya, sepatu seperti ini menjadi artefak budaya, layak dikenang, layak dirawat, dan layak dituliskan kembali.
Dari Pabrik ke Pajangan: Akhir Sebuah Era
Namun waktu tak pernah diam. Pada April 2024, pabrik Bata di Purwakarta resmi ditutup setelah 30 tahun beroperasi. Sebanyak 233 pekerja terkena pemutusan hubungan kerja.Â
Dan pada 25 September 2025, melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), PT Sepatu Bata Tbk resmi menghapus kegiatan usaha produksi sepatu dari anggaran dasarnya.
Keputusan ini bukan tanpa sebab. Permintaan terhadap produk pabrik menurun drastis.Â
Konsumen kini lebih memilih model yang fleksibel, ringan, dan modis, sering kali dari merek luar negeri atau produk lokal yang lebih murah. Kapasitas produksi pabrik pun jauh melampaui kebutuhan pasar.Â
Dalam laporan keuangan semester I 2025, Bata mencatat kerugian bersih sebesar Rp 40,62 miliar, dengan penjualan turun 38,74% dibanding tahun sebelumnya.
Transformasi atau Transisi?
Bata kini bertransformasi menjadi perusahaan distribusi dan ritel. Mereka menutup lebih dari 200 gerai yang merugi, memperkuat kanal daring, dan menggandeng pemasok lokal.Â
Namun, bagi banyak orang, ini bukan sekadar transformasi bisnis, ini adalah transisi emosional. Sebuah perpisahan diam-diam dengan bagian dari masa kecil mereka.
Bata dalam Ingatan Kolektif
Banyak yang mengira Bata adalah merek lokal. Padahal, ia adalah merek global yang berhasil membumi di Indonesia. Ia hadir dalam album keluarga, dalam cerita tentang sepatu pertama, dalam kenangan tentang upacara bendera dan lomba 17-an.Â
Bata adalah sepatu yang tahu jalan ke sekolah, ke masjid, ke pasar, dan ke rumah nenek.
Kini, Bata tinggal menunggu menjadi kenangan. Tapi bukan kenangan yang usang, melainkan kenangan yang hidup, yang bisa kita rajut kembali dalam cerita, foto, dan percakapan.Â
Karena sepatu Bata bukan hanya tentang kaki yang melangkah, tapi tentang nilai-nilai yang menuntun langkah itu: kesederhanaan, ketekunan, dan harga diri.
Penutup: Menyulam Jejak, Menjaga Warisan
"Bata bukan hanya sepatu sekolah, tapi juga warisan budaya, simbol perjuangan keluarga, dan cermin zaman yang kini menunggu untuk dituliskan kembali." Â
>Refleksi seorang penulis dan mentor
Bata telah menutup pabriknya, tapi belum menutup kisahnya. Ia masih hidup dalam ingatan kita, dalam cara kita menyikat sepatu dengan sabun colek, dalam cara kita memilih sepatu untuk anak-anak kita, dalam cara kita mengenang masa kecil yang penuh harapan.
Mungkin sudah saatnya kita menuliskan kisah Bata bukan sebagai obituari, tapi sebagai arsip hidup.Â
Sebuah warisan budaya yang tak kalah penting dari batik atau keris: karena sepatu pun bisa menjadi cermin zaman.
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)
________________________
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI