Refleksi seorang ayah yang pernah menjadi bapak rumah tangga sebelum era digital. Kini, melihat peluang besar bagi para ayah muda untuk hadir sepenuhnya di rumah tanpa kehilangan produktivitas.Â
Artikel sederhana ini ditulis untuk menjangkau pembaca yang mencari inspirasi, refleksi, dan makna di balik peran ayah di era digital.
"Saya pernah menjadi bapak rumah tangga, di masa ketika digitalisasi belum semasif sekarang. Kini anak-anak saya sudah besar dan dewasa. Tapi jika saya diberi kesempatan mengulangnya di era digital, saya akan menjalaninya dengan lebih utuh, lebih tenang, dan lebih bahagia."
Ketika Waktu Adalah Musuh yang Diam-Diam
Dulu, saya menjalani peran ganda: sebagai profesional di dunia perbankan dan sebagai ayah dari anak-anak kecil yang membutuhkan kehadiran. Tapi waktu tidak pernah cukup.Â
Pagi hari saya memandikan bayi dengan tergesa-gesa, sambil melirik jam agar tidak terlambat ke kantor. Pulang kerja, saya menyuapi anak-anak dengan tubuh lelah dan pikiran masih terikat pada laporan dan target.
Akhir pekan menjadi momen penting: saya memasak makanan kesukaan anak-anak untuk persediaan sepekan.Â
Jika ada tugas luar kota, saya harus menyiapkan lebih banyak hal: makanan, kebutuhan harian, dan memastikan semuanya tetap berjalan meski saya tidak di rumah.Â
Semua dilakukan dengan cinta, tapi juga dengan tekanan waktu yang luar biasa.
"Saya hadir, tapi tidak utuh. Saya mencintai, tapi sering terburu."
Momen-Momen yang Kini Saya Kenang
Ada momen-momen kecil yang kini terasa besar: suara tawa anak saat disuapi, pelukan hangat sebelum tidur, tangisan bayi yang saya tenangkan di sela jadwal kerja.Â