Tapi di balik kesederhanaan itu, tersimpan cerita tentang anak-anak yang bangun pagi, menyikat sepatu dengan sabun colek, dan melangkah menuju gerbang sekolah dengan semangat baru.
Sepatu ini adalah jejak waktu. Ia tahu jalan ke perpustakaan, ke lapangan pramuka, ke ruang kelas yang penuh cita-cita.Â
Dan kini, ketika Bata menghentikan produksi lokalnya, sepatu seperti ini menjadi artefak budaya, layak dikenang, layak dirawat, dan layak dituliskan kembali.
Dari Pabrik ke Pajangan: Akhir Sebuah Era
Namun waktu tak pernah diam. Pada April 2024, pabrik Bata di Purwakarta resmi ditutup setelah 30 tahun beroperasi. Sebanyak 233 pekerja terkena pemutusan hubungan kerja.Â
Dan pada 25 September 2025, melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), PT Sepatu Bata Tbk resmi menghapus kegiatan usaha produksi sepatu dari anggaran dasarnya.
Keputusan ini bukan tanpa sebab. Permintaan terhadap produk pabrik menurun drastis.Â
Konsumen kini lebih memilih model yang fleksibel, ringan, dan modis, sering kali dari merek luar negeri atau produk lokal yang lebih murah. Kapasitas produksi pabrik pun jauh melampaui kebutuhan pasar.Â
Dalam laporan keuangan semester I 2025, Bata mencatat kerugian bersih sebesar Rp 40,62 miliar, dengan penjualan turun 38,74% dibanding tahun sebelumnya.
Transformasi atau Transisi?
Bata kini bertransformasi menjadi perusahaan distribusi dan ritel. Mereka menutup lebih dari 200 gerai yang merugi, memperkuat kanal daring, dan menggandeng pemasok lokal.Â
Namun, bagi banyak orang, ini bukan sekadar transformasi bisnis, ini adalah transisi emosional. Sebuah perpisahan diam-diam dengan bagian dari masa kecil mereka.
Bata dalam Ingatan Kolektif