Bagi generasi 70--80'an, sepatu Bata adalah bagian dari ritual tahunan. Menjelang tahun ajaran baru, anak-anak diajak ke Toko Bata oleh orang tua.Â
Di sana, di antara rak-rak kayu dan pencahayaan hangat, mereka memilih sepatu dengan hati-hati. Model tali atau slip-on? Hitam mengilap atau cokelat klasik?
Membeli sepatu Bata adalah momen prestise. Ia bukan barang murah, tapi juga bukan barang mewah. Ia berada di tengah, cukup terjangkau, namun tetap memberi rasa bangga. Anak-anak yang mengenakan sepatu Bata ke sekolah melangkah dengan percaya diri.Â
Sepatu itu dirawat dengan penuh cinta: disikat sabun colek, dijemur, lalu dipoles dengan kiwi hitam hingga mengilap. Ia menjadi simbol anak yang rapi, rajin, dan siap menjemput masa depan.
Di Perguruan Katolik Santa Maria, tempat saya menempuh pendidikan, kami memiliki dua sepatu sekolah: satu berwarna putih untuk hari-hari biasa, dan satu berwarna hitam untuk kegiatan pramuka dan lapangan.Â
Sepatu putih dicuci setiap pekan, lalu disemir dengan kapur pemulih warna agar tetap cerah. Sepatu hitam disediakan dengan cairan semir khusus yang membuatnya mengilap dan kokoh.Â
Dua sepatu itu bukan sekadar perlengkapan, tapi bagian dari disiplin, estetika, dan kebanggaan sebagai pelajar.
Simbol Masa Sekolah yang Tak Terlupakan
Gambar sepatu Bata Bullets putih yang saya unggah di awal artikel adalah representasi kuat dari kenangan masa sekolah. Desainnya sederhana: kanvas putih, sol karet, dan garis merah-hitam di sisi midsole.Â