Di bawah atap gonjong rumah gadang, ketika sirih disusun untuk pasambahan dan suara talempong mengiringi langkah penghulu, terdengar nama-nama yang memanggil ingatan: Caniago, Bodi, Koto, Piliang, lalu deretan nama suku yang lebih kecil, namun sama berharganya.Â
Nama-nama itu bukan sekadar sebutan; mereka adalah peta identitas, tempat hati pulang, dan adat bertumpu.
Artikel sederhana ini mengajak kita berjalan pelan di antara nama-nama itu: memahami apa yang dimaksud "suku" dalam konteks Minangkabau, menyingkap beberapa suku yang menonjol, lalu membaca bagaimana ragam suku ini menghadapi dunia modern, dengan analisis tajam tentang pentingnya menjaga keragaman dan langkah konkret yang bisa kita lakukan bersama.
Apa Itu "Suku" bagi Orang Minang?
Dalam masyarakat Minangkabau, suku (atau kaum) adalah kelompok kekerabatan yang diwariskan secara matrilineal, dari ibu kepada anak perempuan.Â
Suku bukan semata klan darah; ia menjadi bingkai sosial yang mengatur hak atas tanah ulayat, penempatan di rumah gadang, fungsi adat, hingga posisi dalam musyawarah kaum.
Secara tradisi, ada empat suku besar yang menjadi fondasi: Koto, Piliang, Bodi, dan Caniago. Keempatnya kemudian bercabang menjadi puluhan, bahkan ratusan, suku yang berbeda antar nagari.Â
Dua karakter sistem adat yang muncul dari kelompok-kelompok ini sering disingkat menjadi:
- Koto-Piliang:Â sistem yang lebih hierarkis dan aristokratis, dipelopori oleh Datuk Ketumanggungan.
- Bodi-Caniago: sistem yang lebih egaliter dan kolektif, dipelopori oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Kedua sistem ini tidak saling meniadakan, melainkan berdampingan sebagai dua tiang penyangga adat Minangkabau yang kompleks dan dinamis.
Mozaik Suku Minangkabau: Ragam yang Hidup