"Hijrah bukan sekadar pindah tempat, tapi berpindah nilai. Kadang harus turun pangkat, demi naik makna."
Tahun 1992, Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi sebagai pelopor perbankan syariah di Indonesia. Saat itu saya masih menjabat sebagai Manager di bank konvensional. Beberapa rekan saya ikut bergabung ke Bank Muamalat, dan saya pun ingin menyusul.Â
Namun langkah saya tertahan oleh direksi. Mereka meminta saya tetap tinggal, mungkin karena potensi yang mereka lihat dan kebutuhan organisasi saat itu.
Saya pun menunda niat hijrah, meski hati sudah mulai condong ke arah lain. Saya tetap bekerja dan berkembang di bank lama, hingga akhirnya menjabat sebagai Assistant Vice President Kredit Program di kantor pusat.
Tahun Kedua yang Menentukan
Pada 1 November 1999, Bank Syariah Mandiri resmi beroperasi. Di tahun keduanya, 2000, bank ini mulai membuka jaringan secara masif dan mencari talenta untuk pengembangan. Saya melihat peluang dan melamar. Alhamdulillah, saya diterima.
Meski harus memulai dari posisi yang lebih rendah, yaitu sebagai Manager Operasional dan Manajemen Risiko di kantor cabang, saya tidak ragu. Bagi saya, hijrah bukan soal posisi, tapi soal prinsip dan arah hidup.
Antara Rencana dan Kenyataan
Ketika Direksi bank lama tahu saya pindah, mereka menghubungi saya kembali. Katanya, mereka akan membuka unit usaha syariah dan mengajak saya bergabung lagi. Tapi saya menjawab dengan tenang:
"Di tempat saya yang baru, syariah sudah berjalan. Di sini masih rencana."
Saya memilih tetap di Bank Syariah Mandiri, karena saya ingin berada di tempat yang sudah menapaki jalan syariah secara utuh sebagai Bank Umum Syariah.
Menjadi Bagian dari Sejarah: 600 Outlet dan Budaya Korporasi
Selama 15 tahun berkarier di Bank Syariah Mandiri, ada dua fase yang sangat berkesan dan menjadi sumber kebanggaan tersendiri bagi saya.
Pertama, selama 6 tahun saya mensupervisi Research & Development Department, saya ikut membangun dan mengembangkan jaringan kantor BSM hingga mencapai lebih dari 600 outlet di seluruh pelosok negeri tercinta, Indonesia.Â
Dari kota besar hingga daerah terpencil, saya menyaksikan sendiri bagaimana semangat syariah menjangkau masyarakat luas. Setiap pembukaan outlet bukan sekadar ekspansi bisnis, tapi juga perluasan nilai dan pelayanan berbasis prinsip.
Kedua, selama 2 tahun saya mensupervisi Corporate Culture & Fraud Prevention, saya terlibat langsung dalam menyusun dan menginternalisasi Corporate Values menjadi Corporate Culture yang hidup dan berakar di seluruh lini organisasi.Â
Proses ini bukan hanya teknis, tapi juga spiritual dan sosial. Kami tidak sekadar menulis nilai di dinding, tapi menanamkannya dalam perilaku, keputusan, dan etos kerja.
Pengalaman ini kemudian saya perdalam dan kembangkan lebih lanjut dalam peran saya sebagai Advisor & Konsultan Transformasi Corporate Culture untuk berbagai korporasi dan institusi.Â
Saya percaya bahwa budaya korporasi yang sehat dan berbasis nilai adalah fondasi bagi keberlanjutan, integritas, dan keberkahan dalam setiap organisasi.
"Ketika nilai menjadi budaya, maka kerja bukan hanya soal target, tapi soal tanggung jawab dan kebermaknaan."
Perjalanan saya di Bank Syariah Mandiri berlangsung selama 15 tahun. Banyak tantangan, tentu. Tapi juga banyak pembelajaran dan keberkahan.Â
Saya belajar bahwa hijrah karier di usia 30-an bukan soal naik atau turun jabatan, tapi soal keberanian untuk mengikuti nilai yang diyakini.
"Kadang kita harus rela turun pangkat, demi naik derajat di mata prinsip."
Dan kadang, nilai itu lebih berharga daripada semua grading dan struktur yang ditawarkan.
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)
________________________
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI