Gaya komunikasi Purbaya yang lugas dan satiris memicu gelombang reaksi. Dalam tiga hari pertama setelah pelantikannya, lebih dari separuh komentar publik di media sosial bernada negatif.Â
Mahasiswa UI dan UIN turun aksi, menuntut klarifikasi atas pernyataan yang dianggap mengecilkan tuntutan rakyat 17+8.
Komentar seperti "baru dilantik sudah blunder" dan "menteri kagetan" membanjiri akun Instagram resminya.Â
Di tengah badai kritik, Purbaya meminta maaf di Istana Merdeka: "Kalau kemarin salah ngomong, saya minta maaf. Maksud saya bukan bilang 'biar aja rakyat'."
Namun permintaan maaf itu tak menghapus jejak narasi yang telah terlanjur menyentuh luka sosial: ketimpangan, pengabaian, dan sensitivitas publik terhadap gaya komunikasi pejabat.
Efek Kebijakan: Dari Sindiran ke Perubahan Struktural
Pernyataan Purbaya bukan hanya retorika. Ia diikuti dengan kebijakan konkret. Pemerintah menyuntikkan dana Rp200 triliun ke lima bank Himbara, menggantikan penempatan dana di BI, untuk mempercepat perputaran uang.Â
Ia juga menyindir tarif cukai rokok sebesar 57 persen yang disebut "aneh" dan "membunuh industri." Sindiran ini langsung berdampak: saham rokok melonjak tajam, dikenal sebagai Purbaya Effect.
Di sisi fiskal, Purbaya menegaskan bahwa defisit APBN tetap dijaga di bawah 3 persen dari PDB, sesuai dengan amanat Undang-Undang Keuangan Negara.Â
Ini menunjukkan bahwa ekspansi fiskal tetap dilakukan secara terukur dan bertanggung jawab.
Perbandingan Era: Dari Sri Mulyani ke Purbaya
Di era Sri Mulyani, komunikasi fiskal dijaga dengan hati-hati. Ia dikenal sebagai teknokrat yang menjaga kredibilitas dan kehati-hatian dalam menyampaikan informasi. Respons publik umumnya respek, meski kritik tetap muncul saat pandemi dan distribusi bansos.