Di Indonesia, daftar menteri yang terjerat korupsi bukanlah hal baru. Dari Mensos hingga Menkominfo, praktik suap dan manipulasi proyek publik telah menjadi bagian dari lanskap birokrasi.Â
Bahkan dalam tahun politik, skandal korupsi justru meningkat, menunjukkan bahwa sistem hukum kita lebih sering memilih siapa yang ditindak daripada menegakkan keadilan.
Dalam konteks ini, gagasan menteri AI seperti Diella bisa tampak sebagai harapan baru.Â
Bayangkan: menteri yang tidak bisa disuap, tidak punya afiliasi politik, dan hanya bekerja berdasarkan data. Namun, realitasnya jauh lebih rumit.
Mungkinkah Negara Lain Meniru Albania?
Kemungkinan negara lain meniru langkah Albania sangat bergantung pada konteks politik, budaya, dan tingkat kepercayaan publik terhadap teknologi. Mari kita telaah:
1. Negara dengan Ambisi Teknokratis Tinggi
Uni Emirat Arab, Singapura, atau Korea Selatan mungkin tertarik menjadikan AI sebagai "penasihat kebijakan" atau "direktur digital," meski belum tentu dalam bentuk jabatan menteri.
Mereka cenderung menggunakan AI sebagai decision support, bukan decision maker.
2. Negara dengan Krisis Kepercayaan terhadap Elit Politik
Di negara-negara yang mengalami kelelahan publik terhadap korupsi dan elitisme, seperti beberapa negara di Amerika Latin atau Afrika, penunjukan AI bisa menjadi simbol "netralitas" dan "transparansi", meski tetap kontroversial secara konstitusional.
Diella bisa menjadi inspirasi, tapi juga pemicu debat tentang legitimasi dan tanggung jawab.
3. Negara dengan Tradisi Demokrasi Kuat
Di negara seperti Jerman, Kanada, atau Jepang, adopsi AI sebagai menteri kemungkinan besar akan ditolak karena bertentangan dengan prinsip representasi manusia dan akuntabilitas publik.
Di sana, AI lebih mungkin digunakan sebagai alat audit atau analisis kebijakan, bukan sebagai pejabat publik.
Hambatan Konstitusional dan Etis
- Konstitusi banyak negara mensyaratkan pejabat publik adalah warga negara manusia. Â
- AI tidak memiliki kehendak, tanggung jawab hukum, atau kapasitas moral. Â
- Risiko manipulasi algoritma dan bias sistemik tetap tinggi.
Diella sebagai Cermin, Bukan Solusi