Di Masjid Raya Bintaro Jaya, ruang rak buku tidak pernah benar-benar kosong. Setiap Senin dan Kamis, jamaah berkumpul untuk berbuka puasa sunnah.Â
Setiap Ahad pagi, selepas pengajian Subuh, mereka duduk bersama dalam suasana Kopi Subuh, berbagi cerita, refleksi, dan tawa ringan yang menyegarkan. Ruang itu hidup. Tapi rak-rak buku di sekelilingnya tetap diam.
Mereka berdiri seperti latar yang tak lagi diperhatikan. Buku-buku yang dulu menjadi teman tafsir dan refleksi kini tertutup debu, tak tersentuh, tak terkurasi.Â
Tidak ada label, tidak ada ajakan, tidak ada narasi. Seperti tubuh yang masih berdiri, tapi jiwanya telah lama pergi.
Saya tidak sedang menulis tentang perpustakaan. Saya sedang menulis tentang ruang yang pernah menjadi tempat bertumbuhnya akhlak, tempat bersemayamnya ilmu, tempat orang datang bukan hanya untuk tahu, tapi untuk pulih.Â
Dan kini, ruang itu menjadi latar. Bukan karena kita lupa, tapi karena kita terlalu sibuk bertahan.
Bukan Soal Minat Baca, Tapi Soal Kehadiran Buku
Minat baca tidak hilang. Ia hanya berubah bentuk. Jamaah kita tidak malas membaca---mereka hanya tidak lagi diajak. Buku-buku di rak itu tidak usang, mereka hanya tidak lagi diperkenalkan.Â
Literasi belum menyatu dengan ritme ibadah dan kebersamaan. Buku tidak hadir dalam pengajian, buka puasa, atau Kopi Subuh. Tidak ada kutipan yang dibaca bersama, tidak ada refleksi yang ditulis.
Padahal komunitasnya masih utuh dan aktif. Forum Jamaah MRBJ, Remisya (Remaja Masjid Raya Bintaro Jaya), dan Majelis Taklim Ibu-ibu bukan sekadar pelengkap kegiatan masjid.Â
Mereka adalah denyut nadi yang bisa menghidupkan kembali perpustakaan sebagai ruang zikir, pikir, dan silaturahmi.