Ada saat-saat dalam sejarah ketika bangsa tidak hanya diuji oleh krisis, tapi oleh keberaniannya untuk jujur.Â
Hari-hari ini, Indonesia berdiri di ambang itu. Bukan karena badai ekonomi semata, bukan karena gejolak politik yang biasa, tapi karena satu nama yang menggema di jalanan: Affan Kurniawan.
Affan bukan tokoh besar. Ia bukan pejabat, bukan elite. Ia adalah mahasiswa, anak bangsa yang gugur dalam aksi damai, namun tak disebut dalam pidato kenegaraan.Â
Tubuhnya yang terbaring menjadi cermin: bahwa negara telah lupa cara mendengar. Dan dari luka itu, lahirlah gelombang kesadaran yang tak bisa lagi dibendung.
Dalam 24 jam terakhir, enam peristiwa besar saling berkelindan. Mereka bukan sekadar berita, tapi simpul dari satu narasi besar: bahwa kepercayaan publik sedang runtuh, dan pemulihan hanya mungkin jika kita berani menatap luka.
Di Hambalang, Presiden Prabowo mengundang 16 ormas Islam. PBNU, Muhammadiyah, MUI, DDII, PII - semua hadir. Tujuannya jelas: meredakan situasi, mengajak masyarakat tenang, dan menjanjikan pertemuan lanjutan di Istana.Â
Tapi di balik simbol itu, ada pertanyaan yang belum dijawab: apakah ormas-ormas ini akan diberi ruang untuk menjadi pengawal etis kebijakan negara, atau hanya dijadikan pengaman moral?
Sementara itu, di Istana, para ketua partai dan pimpinan DPR berkumpul. Tunjangan jumbo dicabut, kunjungan luar negeri dimoratorium, dan beberapa anggota DPR dinonaktifkan. Tapi publik tidak bersorak. Karena semua tahu: ini bukan reformasi, ini kosmetik.Â
Tidak ada evaluasi atas budaya politik yang melahirkan "mental elite." Tidak ada refleksi atas ketimpangan representasi. Hanya respons administratif yang tak menyentuh akar.
Dan akar itu mulai retak ketika rumah-rumah pejabat dijarah. Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya, Nafa Urbach, nama-nama yang sebelumnya hanya menghiasi layar kini menjadi simbol kemarahan. Barang pribadi diangkut, brankas dibongkar.Â
Penjarahan bukan solusi, tapi gejala. Ia adalah ledakan terhadap simbol elite yang dianggap mengkhianati rakyat. Negara gagal melindungi warganya, baik pejabat maupun masyarakat sipil.