Reputasi yang Retak dan Tantangan Konsumen
Sejak akhir 2023, KFC Indonesia menghadapi tekanan reputasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Konflik Israel--Palestina dan seruan boikot merek asal AS memicu gelombang penolakan dari konsumen Muslim Indonesia. Fatwa MUI No. 83 Tahun 2023 memperkuat arus ini, mendorong masyarakat lebih selektif terhadap produk yang dianggap tidak berpihak pada nilai kemanusiaan.
Dampak nyata terlihat pada:
- Penutupan 47 gerai sejak 2023
- PHK terhadap 2.274 karyawan
- Kerugian kuartal III-2024 mencapai Rp558,75 miliar, naik 266% dari tahun sebelumnya
Di media sosial, suara publik semakin lantang: "Sudah saatnya kita dukung produk lokal." Reputasi KFC kini bukan sekadar soal rasa ayam goreng, tapi soal nilai dan keberpihakan.
Merek Lokal Menyalip di Tikungan
Sementara KFC berjuang memperbaiki citra, merek lokal seperti Sabana, Hisana, Ayam Geprek Bensu, dan D'Best O Chicken justru tumbuh subur. Mereka menawarkan harga lebih terjangkau, rasa familiar, dan citra lokal yang dekat dengan hati konsumen.
Di beberapa daerah, muncul bahkan versi lokal yang mirip KFC, misalnya "Klaten Fried Chicken" bukan sekadar plesetan, tetapi simbol pergeseran selera dan identitas konsumen Indonesia.
Strategi Pemulihan FAST: Taktis tapi Belum Naratif
FAST mencoba bangkit melalui langkah-langkah strategis:
- Efisiensi operasional dan penutupan gerai yang tidak produktif
- Penguatan kanal digital dan promosi agresif
- Kemitraan strategis dengan layanan pengantaran dan platform digital
- Narasi publik tentang komitmen terhadap tenaga kerja lokal
Namun, semua langkah ini lebih bersifat taktis. Belum ada repositioning merek yang menyentuh akar reputasi. Investasi Haji Isam memperkuat logistik, sedangkan suntikan modal Salim & Gelael menjaga likuiditas, tetapi kepercayaan konsumen masih harus dibangun kembali.
Di Persimpangan Narasi