"Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan: Ketika Jahitan Menjadi Tanda Sejarah"
Di sebuah sudut rumah tua di Bengkulu, saya duduk merenung di hadapan mesin jahit berwarna merah.Â
Mesin sederhana yang digerakkan dengan tangan itu diam, tapi tidak bisu. Ia menyimpan detik-detik kemerdekaan yang dijahit dalam sunyi oleh seorang ibu muda bernama Fatmawati.Â
Hari itu, saya tidak hanya melihat benda. Saya melihat keberanian, cinta, dan sejarah yang dijalin benang demi benang.
Delapan puluh tahun sudah Republik ini berdiri. Kita mengenang teks proklamasi, pidato-pidato besar, dan para tokoh yang mengisi panggung sejarah. Tapi jarang kita berhenti sejenak untuk menengok ruang domestik---tempat kemerdekaan dijahit secara harfiah, bukan metaforis.Â
Mesin jahit Fatmawati bukan sekadar alat. Ia adalah saksi lahirnya Sang Saka Merah Putih, dijahit dengan tangan sendiri, dalam kehamilan tua, di tengah tekanan penjajahan dan ketidakpastian.
Jahitan yang Menjadi Bendera
Pada malam 16 Agustus 1945, setelah Bung Karno dan Bung Hatta kembali dari Rengasdengklok, keputusan bulat diambil: proklamasi akan dibacakan esok pagi. Tapi belum ada bendera.Â
Di tengah malam itu, Fatmawati mengambil kain merah dan putih yang telah disiapkan, lalu duduk di depan mesin jahitnya. Ia menjahit dengan tangan gemetar, bukan karena takut, tapi karena tahu: setiap jahitan adalah ikrar.
Bendera itu kemudian dikibarkan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta, pada pagi 17 Agustus 1945. Tanpa seremoni megah. Tanpa protokol negara. Hanya dengan tiang bambu dan semangat yang tak bisa dibeli.
Mesin Jahit sebagai Artefak Sejarah
Mesin jahit yang digunakan Fatmawati diyakini berjenis Singer treadle machine, model pedal kaki yang populer di era 1930--1940-an. Di Rumah Fatmawati Bengkulu, dua mesin jahit dipamerkan. Salah satunya berwarna merah dengan penggerak tangan, yang saya temui langsung.Â
Warna ini mungkin hasil restorasi atau penyesuaian visual untuk keperluan edukasi publik. Mesin lainnya, berwarna gelap, sebagian orang meyakini sebagai mesin asli yang digunakan menjahit bendera pusaka.
Namun, perdebatan tentang keaslian bukanlah inti dari refleksi ini. Justru yang penting adalah bagaimana kita memaknai benda itu sebagai pintu masuk ke sejarah yang lebih manusiawi, sejarah yang dijahit dari dalam rumah, bukan dari ruang sidang.
Perempuan dan Ruang Sunyi Kemerdekaan
Fatmawati bukan hanya istri presiden. Ia adalah pelaku sejarah aktif. Dalam usia 22 tahun, ia menjahit bendera yang menjadi simbol negara.Â
Ibu Fatmawati bukan hanya melahirkan anak-anak biologis, tapi juga simbol kebangsaan. Dalam ruang domestik yang sering diabaikan sejarah resmi, ia menjahit harapan bangsa.
Mesin jahit itu menjadi mimbar kecil tempat doa, ketekunan, dan keberanian dijalin menjadi satu. Ia melambangkan bahwa perjuangan bukan hanya di medan tempur atau meja diplomasi, tapi juga di ruang sunyi yang penuh makna.
Jejak Bendera Pusaka: Dari Jahitan ke Perawatan
Bendera pusaka yang dijahit Fatmawati terus dikibarkan setiap 17 Agustus hingga tahun 1968. Namun karena kondisinya mulai rapuh, Presiden Soeharto memutuskan untuk menyimpannya dan menggantinya dengan duplikat.Â
Bendera asli kini disimpan di Gedung Sekretariat Presiden, Jakarta Pusat, dalam ruang khusus berpendingin dan pengamanan ketat.Â
Ia tidak lagi dikibarkan, tapi tetap menjadi simbol sakral yang hanya dikeluarkan untuk keperluan tertentu.
Melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 003/M/2015, tertanggal 9 Januari 2015, bendera ini ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional dengan nama resmi Cagar Budaya Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih.Â
Bendera Pusaka disimpan dalam vitrin trapesium dari flexi glass, dijaga pada suhu sekitar 22,7C dan kelembapan 62%. Bagian atasnya dilapisi kertas bebas asam, dibungkus dengan kertas singkong berkualitas tinggi, dan diikat dengan pita merah putih sebagai simbol kehormatan.
Menurut arsip Sekretariat Negara, bendera pusaka dijahit dari kain katun biasa, bukan bahan khusus. Panjangnya sekitar 276 cm dan lebarnya 200 cm. Jahitan tangan Fatmawati masih terlihat jelas, menjadi bukti bahwa kemerdekaan dijahit dengan tangan rakyat, bukan mesin negara.
Data yang Terlupakan
Dalam survei nasional tentang pengetahuan sejarah (Litbang Kompas, 2022), hanya 38% responden yang tahu bahwa bendera pusaka dijahit oleh Fatmawati. Lebih dari 60% mengira bendera itu dibuat oleh institusi atau pabrik.Â
Kondisi ini menunjukkan betapa narasi domestik dan peran perempuan masih terpinggirkan dalam ingatan kolektif bangsa.
Museum dan kurikulum sejarah kita cenderung menampilkan tokoh-tokoh laki-laki, pidato-pidato besar, dan peristiwa-peristiwa formal. Padahal, kemerdekaan lahir dari ruang-ruang kecil, dari tangan-tangan yang tak disebut dalam buku sejarah.
Jahitan sebagai Metafora Bangsa
Mesin jahit Fatmawati mengajarkan kita bahwa membangun bangsa adalah proses menjahit: Â
- Benang merah adalah keberanian. Â
- Benang putih adalah kejujuran. Â
- Kain adalah rakyat. Â
- Jahitan adalah ikatan sosial yang menyatukan perbedaan.
Jika jahitan longgar, bangsa mudah robek. Jika benang tidak kuat, bendera tidak berkibar. Maka tugas kita hari ini bukan hanya mengenang, tapi menjahit ulang ikatan kebangsaan yang mulai renggang.
Penutup: Menjahit Ulang Ingatan Kolektif
Di usia ke-80 Republik ini, kita tidak hanya butuh perayaan. Kita butuh refleksi. Mesin jahit Fatmawati mengingatkan kita bahwa kemerdekaan bukan hasil pidato, tapi hasil kerja tangan. Ia dijahit dalam sunyi, oleh perempuan muda, di sebuah rumah, tanpa sorotan kamera.
Kini, tugas kita adalah menjahit ulang ingatan kolektif agar lebih utuh, lebih jujur, dan lebih manusiawi. Kita harus berani menengok ruang-ruang kecil yang melahirkan sejarah besar.Â
Karena di sanalah kemerdekaan dijahit, bukan di atas panggung, tapi di atas pedal mesin jahit yang terus bergerak, seperti harapan bangsa yang tak pernah berhenti.
Penulis: Merza Gamal (Anak Bangsa, Penjelajah Sejarah Indonesia dan Budaya Nusantara)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI