Di Tanah Kusir, tak jauh dari rumah saya di Bintaro, berdiri tenang makam Bung Hatta.
Makam itu tidak berada di puncak bukit sejarah, melainkan di pinggir jalan yang dulu nyaris setiap hari saya lewati---menuju kantor di Thamrin, atau mengantar anak-anak ke sekolah yang berdiri di belakang kompleks pemakaman itu.Â
Tapi baru di usia kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80, saya benar-benar berhenti. Duduk. Diam. Mendengar.
Makam yang Seringkali Terlewati
Selama bertahun-tahun, makam Bung Hatta adalah lanskap harian yang nyaris tak disadari. Ia hadir seperti etika publik yang perlahan memudar dari kesadaran kolektif.Â
Tapi pagi itu, saya bersimpuh di hadapannya. Tak ada seremoni. Hanya keheningan, bunga segar, dan batu nisan yang seolah bicara:
"Apa arti merdeka jika kita lupa malu di hadapan sejarah?"
Bung Hatta: Kesederhanaan yang Menyentuh
Bung Hatta wafat tanpa meninggalkan harta. Ia menolak mobil dinas, menulis buku dengan mesin ketik tua, dan hidup bersahaja hingga akhir hayat. Bahkan listrik rumahnya sempat terancam diputus karena tunggakan. Tapi ia tak pernah meminta.
"Aku ingin tetap merdeka dalam berpikir dan bertindak," tulisnya.