Bermuda: Layang-Layang dan Kenaikan Spiritual
Di Bermuda, Jumat Agung dirayakan dengan menerbangkan layang-layang buatan tangan. Tradisi ini lahir dari simbol kenaikan Yesus ke langit, tapi juga menjadi ruang ekspresi kolektif. Anak-anak dan orang tua berkumpul, merakit, mewarnai, dan menerbangkan harapan mereka ke angkasa.
Jumat di sini bukan hanya tentang agama, tapi tentang komunitas, kreativitas, dan spiritualitas yang terbang bebas.
Kehidupan Kontemporer: Ruang Refleksi dan Empati
Di luar agama, Jumat sering menjadi waktu untuk memperlambat ritme hidup. Di dunia kerja, ia menjadi jembatan antara produktivitas dan istirahat. Di ruang keluarga, ia menjadi saat berkumpul dan berbagi. Di ruang publik, ia menjadi momen solidaritas dan aksi sosial.
Jumat mengingatkan kita bahwa manusia bukan mesin. Kita butuh jeda, butuh makna, butuh ruang untuk menjadi utuh kembali.
Mengapa Jumat Menyentuh Jiwa Lintas Tradisi?
Analisis singkat:
- Narasi asal-usul dan akhir: dari penciptaan Adam hingga penyaliban Yesus, dari surga hingga pencerahan.
- Komunitas dan kontemplasi: masjid, gereja, lapangan, pohon Bodhi---semua menjadi tempat berkumpul dan merenung.
- Nilai universal: pengorbanan, pengampunan, refleksi, harapan, dan kesatuan.
Jumat adalah hari yang mengingatkan langit dan menghubungkan bumi. Ia bukan milik satu agama, tapi milik semua jiwa yang mencari makna.
Penutup: Menyucikan Waktu, Menyentuh Kehidupan
Di tengah dunia yang serba cepat dan bising, Jumat datang sebagai jeda yang suci. Ia mengajak kita untuk berhenti, merenung, dan mengingat bahwa hidup bukan hanya tentang pencapaian, tapi tentang penyucian. Di tengah dunia yang serba cepat dan bising, Jumat datang sebagai jeda yang suci. Ia mengajak kita untuk berhenti, merenung, dan mengingat bahwa hidup bukan hanya tentang pencapaian, tapi tentang penyucian.Â
Bukan hanya tentang bergerak, tapi tentang kembali.
Maka, apapun keyakinanmu, biarkan Jumat menjadi ruang spiritualmu. Tempat kamu menengadah, menyentuh langit, dan menghubungkan kembali dengan bumi dan sesama.
Penulis: Merza Gamal (Pemerhati Sosial Budaya)