Di antara tujuh hari yang berputar dalam siklus waktu, Jumat berdiri bukan hanya sebagai penanda akhir pekan, tetapi sebagai ruang spiritual yang melintasi agama, budaya, dan sejarah.Â
Jumat bukan sekadar hari, tapi sebuah panggilan: untuk berhenti sejenak, menengadah, dan mengingat siapa kita, dari mana kita datang, dan ke mana kita akan kembali.
Jumat menyentuh jiwa bukan karena rutinitas, tapi karena makna. Ia hadir dalam khutbah, dalam prosesi, dalam layang-layang, bahkan dalam keheningan di bawah pohon pencerahan.Â
Mari kita menelisik mengapa Jumat menjadi hari yang menyentuh jiwa lintas tradisi.
Islam: Hari Penciptaan dan Pengingat Kiamat
Dalam Islam, Jumat adalah hari agung. Rasulullah bersabda:
"Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya adalah Hari Jum'at, padanya diciptakan Adam, padanya dimasukkan ke Surga, dan dikeluarkan darinya, serta tidak terjadi Hari Kiamat kecuali di Hari Jum'at." Â
 (HR. Muslim No. 854)
Jumat bukan hanya hari ibadah, tapi hari asal-usul dan akhir. Ia mengandung jejak penciptaan dan bayangan kiamat.Â
Di masjid, umat berkumpul, mendengarkan khutbah, menyatukan doa. Ada kesadaran kolektif bahwa hidup bukan sekadar rutinitas, tapi perjalanan spiritual yang harus diingat dan disucikan.
Kristen: Hari Pengorbanan dan Penebusan
Dalam tradisi Kristen, Jumat Agung (Good Friday) adalah hari penyaliban Yesus Kristus. Ia bukan hari kemenangan, tapi hari luka yang menyelamatkan. Dalam Injil Yohanes:
 "Ketika Yesus sudah menerima anggur itu, Ia berkata: 'Sudah selesai.' Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya." Â
(Yohanes 19:30)
Jumat menjadi simbol pengorbanan tertinggi---cinta yang rela menderita demi keselamatan orang lain.Â
Di berbagai belahan dunia, Jumat Agung dirayakan dengan prosesi, doa, dan puasa. Ia mengajarkan bahwa penderitaan bisa menjadi jalan penebusan, dan kematian bukan akhir, melainkan awal dari harapan.
Buddhisme: Kontemplasi Pasca Pencerahan
Dalam tradisi Buddhis, khususnya Theravda, setiap hari memiliki postur Buddha yang khas. Untuk hari Jumat, dikenal sebagai Pang Ram Pueng---Buddha berdiri dengan tangan bersilang di dada, menggambarkan momen kontemplasi mendalam setelah pencerahan.
Buddha merenungkan apakah ajaran Dharma yang begitu dalam dan halus dapat dipahami oleh umat manusia yang cenderung terikat pada kesenangan duniawi. Meski sempat ragu, belas kasih dan kebijaksanaan mendorongnya untuk tetap membagikan Dharma.
"Dharma ini dalam, sulit dilihat, sulit dipahami; tenang, luhur, melampaui logika, halus, hanya dapat dialami oleh yang bijak." Â
(Refleksi Buddha di bawah pohon Banyan)
Jumat dalam Buddhisme menjadi simbol:
- Kontemplasi dan toleransi
- Belas kasih dalam keraguan
- Kesadaran akan keragaman pemahaman
Ia mengajarkan bahwa bahkan dalam kebimbangan, ada dorongan untuk memberi dan mengajar.
Bermuda: Layang-Layang dan Kenaikan Spiritual
Di Bermuda, Jumat Agung dirayakan dengan menerbangkan layang-layang buatan tangan. Tradisi ini lahir dari simbol kenaikan Yesus ke langit, tapi juga menjadi ruang ekspresi kolektif. Anak-anak dan orang tua berkumpul, merakit, mewarnai, dan menerbangkan harapan mereka ke angkasa.
Jumat di sini bukan hanya tentang agama, tapi tentang komunitas, kreativitas, dan spiritualitas yang terbang bebas.
Kehidupan Kontemporer: Ruang Refleksi dan Empati
Di luar agama, Jumat sering menjadi waktu untuk memperlambat ritme hidup. Di dunia kerja, ia menjadi jembatan antara produktivitas dan istirahat. Di ruang keluarga, ia menjadi saat berkumpul dan berbagi. Di ruang publik, ia menjadi momen solidaritas dan aksi sosial.
Jumat mengingatkan kita bahwa manusia bukan mesin. Kita butuh jeda, butuh makna, butuh ruang untuk menjadi utuh kembali.
Mengapa Jumat Menyentuh Jiwa Lintas Tradisi?
Analisis singkat:
- Narasi asal-usul dan akhir: dari penciptaan Adam hingga penyaliban Yesus, dari surga hingga pencerahan.
- Komunitas dan kontemplasi: masjid, gereja, lapangan, pohon Bodhi---semua menjadi tempat berkumpul dan merenung.
- Nilai universal: pengorbanan, pengampunan, refleksi, harapan, dan kesatuan.
Jumat adalah hari yang mengingatkan langit dan menghubungkan bumi. Ia bukan milik satu agama, tapi milik semua jiwa yang mencari makna.
Penutup: Menyucikan Waktu, Menyentuh Kehidupan
Di tengah dunia yang serba cepat dan bising, Jumat datang sebagai jeda yang suci. Ia mengajak kita untuk berhenti, merenung, dan mengingat bahwa hidup bukan hanya tentang pencapaian, tapi tentang penyucian. Di tengah dunia yang serba cepat dan bising, Jumat datang sebagai jeda yang suci. Ia mengajak kita untuk berhenti, merenung, dan mengingat bahwa hidup bukan hanya tentang pencapaian, tapi tentang penyucian.Â
Bukan hanya tentang bergerak, tapi tentang kembali.
Maka, apapun keyakinanmu, biarkan Jumat menjadi ruang spiritualmu. Tempat kamu menengadah, menyentuh langit, dan menghubungkan kembali dengan bumi dan sesama.
Penulis: Merza Gamal (Pemerhati Sosial Budaya)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI