Tren digital mencatat lonjakan pencarian tentang Pacu Jalur dan "Aura Farming" hingga 900% dalam lima hari. Hashtag seperti #PacuJalurGoGlobal dan #TarianAnakSungai membanjiri linimasa.
Ini bukan sekadar viral; ini adalah sinyal bahwa publik---baik lokal maupun global---haus akan narasi budaya yang autentik dan membanggakan.Â
Sayangnya, keterlambatan respons negara menimbulkan kesan bahwa kita tidak cukup siap merayakan budaya kita sendiri saat dunia memberi perhatian.
Belajar dari Pacu Jalur: Strategi Komunikasi Budaya di Era Digital
Dari kisah ini, ada pelajaran penting tentang bagaimana seharusnya negara hadir bersama rakyat dalam merayakan budaya:
Bangun Narasi yang Empatik dan Relevan
- Gunakan cerita anak penari sebagai simbol identitas dan semangat lokal.
- Padukan kisah tradisi dengan konteks kekinian---bahwa budaya bukan hanya peninggalan, tapi napas kehidupan.
Cepat, Adaptif, dan Empatik
- Bentuk unit respons cepat komunikasi digital di setiap kementerian.
- Jangan defensif saat publik bersuara. Dengarkan, rangkul, dan tanggapi dengan terbuka.
Gunakan Visual yang Menyentuh dan Autentik
- Ciptakan konten TikTok dan Reels berdurasi pendek yang memperkenalkan budaya lokal secara atraktif.
- Produksi dokumenter berkualitas tinggi yang menarasikan sejarah dan jiwa dari tradisi itu sendiri.
Dialog Aktif, Bukan Monolog Seremonial
- Buka ruang tanya-jawab di media sosial antara tokoh budaya, seniman lokal, dan pejabat pemerintah.
- Libatkan komunitas budaya dalam perencanaan kampanye digital dan offline.
Inspirasi dari Kampanye yang Sukses
Kampanye seperti Indonesia Menari, Bangga Buatan Indonesia, dan Toraja Melo membuktikan bahwa budaya lokal bisa diangkat secara profesional dan berkelanjutan ke panggung nasional bahkan internasional. Kuncinya? Sinergi antara narasi, komunitas, dan keberanian untuk tampil percaya diri.
Dari Anak Sungai untuk Kebangkitan Negeri
Anak kecil penari itu tidak hanya menari di atas perahu, ia menari di hati jutaan orang. Di balik goyangan lincahnya, ada pesan kuat: bahwa warisan budaya kita masih hidup, masih relevan, dan masih mampu menggugah dunia.
Namun budaya tak boleh berjalan sendirian. Negara harus hadir---bukan hanya saat viral, tapi sejak dini, dalam proses pemeliharaan, pendampingan, dan pengarusutamaan.
Jika seorang anak kecil bisa menggugah dunia lewat Pacu Jalur,
tidakkah seharusnya negara siap mendayung bersama tradisinya sendiri?
Penulis: Merza Gamal
(Ketua Tim Penyusunan DSRA Pariwisata Halal Pekanbaru-Riau 2018--2021)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI