Di tengah gejolak global dan tekanan eksternal, Indonesia kembali menghadapi tantangan berat dalam menjaga stabilitas nilai tukar, daya beli masyarakat, dan iklim investasi.Â
Laporan Bank Dunia (Global Economic Prospects, Juni 2025) menyoroti bahwa nilai tukar rupiah menjadi yang paling tertekan di kawasan Asia Tenggara.Â
Pelemahan ini bukan hanya karena tekanan eksternal seperti konflik geopolitik dan kebijakan suku bunga tinggi di negara maju, tapi juga mencerminkan ketidakpastian domestik yang mengikis kepercayaan pelaku pasar.
Stimulus Sudah Diberikan, Tapi Tak Berdampak Besar
Menanggapi tekanan yang makin kuat, pemerintah sebenarnya telah meluncurkan sejumlah stimulus untuk menstabilkan perekonomian.Â
Namun hasilnya belum sebanding dengan ekspektasi. Beberapa di antaranya:
- Insentif fiskal sektor prioritas, seperti pemotongan PPh badan dan insentif pajak UMKM, belum direspons optimal oleh pelaku usaha karena ketidakpastian regulasi dan daya beli masyarakat yang tetap lemah.
- Peningkatan belanja pemerintah (government spending) di awal 2025 belum mampu menggerakkan konsumsi masyarakat, disebabkan oleh serapan anggaran yang tidak merata dan birokrasi yang masih lamban.
- Subsidi energi dan pangan yang digelontorkan untuk menjaga daya beli, justru menambah beban fiskal tanpa efek jangka panjang terhadap produktivitas dan pertumbuhan sektor riil.
- Kebijakan suku bunga dan intervensi pasar valas oleh Bank Indonesia memang menahan kepanikan sesaat, namun tidak cukup membalikkan tren pelemahan rupiah karena masalah dasarnya tetap belum tersentuh: defisit kepercayaan terhadap arah kebijakan ekonomi jangka menengah.
Dalam kondisi seperti ini, stimulus menjadi seperti obat pereda nyeri tanpa menyembuhkan sumber penyakitnya.
Lima Stimulus Baru: Belum Tentu Efektif
Baru-baru ini, pemerintah kembali menggelontorkan lima paket stimulus ekonomi senilai Rp24,44 triliun untuk kuartal II-2025, diklaim untuk menjaga daya beli masyarakat selama libur sekolah dan mendorong perekonomian domestik.
Kelima stimulus tersebut mencakup:
- Diskon moda transportasi (Rp0,94 triliun) untuk mendorong wisata domestik.
- Subsidi tol guna mempercepat arus pergerakan.
- Penebalan bantuan sosial (bansos) untuk kelompok rentan.
- Subsidi upah bagi sektor terdampak.
- Diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) bagi dunia usaha.
Walau tepat sasaran secara teknis, paket ini tidak berbeda jauh dari pendekatan sebelumnya: bersifat jangka pendek, konsumtif, dan tidak menyasar reformasi struktural.Â
Dalam iklim yang penuh ketidakpastian seperti saat ini, stimulus seperti ini berpotensi "tak ngefek" kembali jika kepercayaan tidak dipulihkan.
Masalah Sebenarnya: Defisit Kepercayaan
Berbagai sinyal dari pelaku pasar dan lembaga internasional menunjukkan bahwa yang melemah bukan hanya indikator ekonomi, tapi juga tingkat kepercayaan publik dan investor terhadap efektivitas kebijakan pemerintah. Ketika arah kebijakan fiskal, moneter, dan investasi tidak disampaikan dengan konsistensi dan transparansi, maka stimulus akan sulit menghasilkan dampak yang signifikan.
Dalam konteks ini, pemulihan kepercayaan jauh lebih penting dibanding menambah jumlah insentif. Tanpa kejelasan arah dan keberanian melakukan reformasi, masyarakat dan pelaku usaha akan tetap bersikap hati-hati, menahan konsumsi dan investasi.
Stimulus Bukan Segalanya
Sejarah membuktikan bahwa stimulus besar-besaran selama pandemi COVID-19 tidak mampu mendorong pertumbuhan jangka panjang secara berkelanjutan.Â
Banyak program yang tidak efektif karena birokrasi lambat, sasaran tidak tepat, dan tidak ditopang oleh reformasi kelembagaan.
Kondisi saat ini serupa, bahkan lebih kompleks. Oleh karena itu, pemerintah perlu berpindah dari pendekatan "pemadam kebakaran" menuju kebijakan yang lebih menyentuh akar persoalan:
- Reformasi fiskal yang kredibel dan berkelanjutan, bukan hanya ekspansi sementara.
- Kepastian hukum dan tata kelola investasi yang pro-pelaku usaha.
- Komitmen terhadap good governance dan efisiensi birokrasi.
- Komunikasi kebijakan yang terbuka dan konsisten.
Kesimpulan: Pulihkan Kepercayaan, Baru Stimulus Akan Berdampak
Stimulus ekonomi memang diperlukan sebagai penyangga sementara, tetapi tidak akan efektif tanpa pemulihan kepercayaan.Â
Masyarakat tidak akan belanja, pelaku usaha tidak akan ekspansi, dan investor tidak akan masuk hanya karena ada diskon atau subsidi. Mereka butuh arah yang jelas, tata kelola yang baik, dan stabilitas jangka menengah.
Dengan kata lain, sebelum menambah stimulus, pulihkan dulu kepercayaan.
Penulis: Merza Gamal (Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI