Pagi ini di pekan ketiga bulan Mei 2025, publik dikejutkan oleh pengumuman resmi dari Kejaksaan Agung. Tiga orang tersangka baru diumumkan dalam kasus dugaan korupsi pemberian kredit kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara.Â
Yang membuat gempar bukan hanya nilai kerugian negara yang mencapai triliunan rupiah, tapi juga fakta bahwa dua dari tiga tersangka merupakan pejabat bank daerah ternama: Bank DKI dan Bank BJB.
Bagi sebagian orang, ini hanyalah satu dari sekian kasus korupsi yang menghiasi pemberitaan. Namun bagi mereka yang memahami dunia keuangan, ini adalah alarm keras yang menyoroti betapa rapuhnya sistem jika tidak dijaga oleh integritas.
Kredit Triliunan Rupiah, Tanggung Jawab yang Terabaikan
Dari data yang dipaparkan oleh Kejaksaan, total tagihan atau outstanding credit dari berbagai bank kepada Sritex hingga Oktober 2024 mencapai Rp3,58 triliun. Rinciannya cukup mencengangkan:
- Bank Jateng: Rp395,6 miliar
- Bank BJB, Bank Jawa Barat Banten: Rp543,9 miliar
- Bank DKI: Rp149 juta
- Sindikasi Bank BNI, BRI, dan LPEI: Rp2,5 triliun
Belum lagi dari 20 bank swasta lainnya yang turut mengucurkan kredit ke perusahaan yang pada 2020 sempat mencetak laba Rp1,24 triliun --- namun hanya setahun kemudian melaporkan kerugian senilai USD 1,008 miliar (setara Rp15,65 triliun).
Apa yang Salah?
Penyidik menyimpulkan bahwa terdapat pemberian kredit secara melawan hukum --- tanpa analisis risiko yang memadai, tanpa kehati-hatian yang seharusnya melekat pada setiap keputusan keuangan.Â
Kredibilitas perusahaan penerima kredit tampak diabaikan, bahkan ketika tanda-tanda kesulitan keuangan sudah mulai tampak.
Di sinilah peran integritas menjadi krusial. Karena dalam dunia perbankan, angka dan dokumen bisa dipoles. Tapi hanya integritas yang bisa menghindarkan seseorang dari godaan kekuasaan dan kepentingan sesaat.
Nilai yang Dideklarasikan Tak Selalu Dipraktikkan