Banyak bank hari ini memiliki slogan bernuansa luhur:Â trust, integrity, accountability. Tapi kenyataannya, nilai-nilai ini sering kali hanya berhenti di dinding lobi kantor --- belum benar-benar hidup dalam perilaku karyawan dan kebijakan organisasi.
Inilah saatnya bagi industri perbankan untuk melihat ke dalam:
Apakah nilai-nilai korporasi benar-benar telah dijadikan budaya?
Apakah sistem reward dan punishment mendukung perilaku yang jujur dan bertanggung jawab?
Apakah proses rekrutmen dan promosi mempertimbangkan moralitas, bukan sekadar kompetensi teknis?
Transformasi Nilai ke Budaya adalah Keniscayaan
Dalam ilmu manajemen, kita mengenal istilah corporate values dan corporate culture. Nilai adalah pondasi. Tapi budaya adalah perilaku nyata yang terbentuk dari sistem, kebiasaan, dan keteladanan pimpinan. Dan ini tidak bisa dibentuk dalam sehari.
Dari kasus ini, kita belajar bahwa:
- Integritas pejabat bank bukan hanya persoalan individu, tapi soal sistem yang membiarkan penyimpangan terjadi.
- Penerapan nilai harus terinternalisasi dari level pimpinan hingga staf frontliner.
- Pendidikan nilai moral dan etika harus menjadi bagian dari pengembangan SDM bank secara berkelanjutan.
Menjaga Uang Rakyat, Menjaga Martabat Lembaga
Kredit yang digelontorkan oleh bank pemerintah dan daerah pada dasarnya adalah uang publik. Uang dari tabungan, dari pajak, dari hasil kerja keras masyarakat. Ketika dana tersebut disalurkan tanpa tanggung jawab, dan kemudian gagal bayar --- yang dirugikan bukan hanya negara, tapi juga kepercayaan publik.
Bank tidak hanya menyimpan uang. Bank adalah penjaga amanah.Â
Dan kepercayaan adalah mata uang terkuat yang dimiliki lembaga keuangan. Kehilangan itu artinya krisis yang tak bisa diatasi hanya dengan modal tambahan atau bailout pemerintah.
Penutup: Momentum Perubahan
Skandal Sritex bukan hanya soal angka dan nama. Ini adalah cermin bagi dunia perbankan Indonesia: sudah sejauh mana kita membangun budaya integritas?
Saatnya bagi pimpinan bank, regulator, dan masyarakat untuk menjadikan kasus ini sebagai titik balik.Â
Mendorong reformasi tata kelola kredit, memperkuat sistem pengawasan, dan yang paling penting --- menanamkan nilai integritas sebagai budaya kerja, bukan sekadar semboyan.