Ketika email bertanda "Penting" itu masuk pagi-pagi sekali, Dimas sudah tahu firasatnya benar.
"Kami menyampaikan terima kasih atas kontribusi Anda selama ini..."
Kalimat itu seperti badai yang memporakporandakan pagi. Dimas, karyawan divisi digital marketing di sebuah startup yang sedang "merampingkan organisasi", resmi menjadi bagian dari statistik pengangguran baru di negeri ini.Â
Ia diam menatap layar, jari-jarinya menggigil, bukan karena dingin AC kantor, tapi karena bayangan cicilan, biaya hidup, dan masa depan yang tiba-tiba seperti tertelan kabut.
Namun kisah Dimas tidak berakhir di situ. Justru di sanalah babak baru dimulai.
Gelombang PHK: Realitas yang Tak Bisa Ditolak
Tahun ini, PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) kembali menghantam banyak sektor---startup, industri manufaktur, bahkan perusahaan besar multinasional. Tak ada yang benar-benar siap kehilangan pekerjaan.Â
Tapi realitas ini juga menampar kesadaran kita: pekerjaan bisa hilang, tapi kemampuan bertumbuh adalah milik pribadi yang tak bisa dirampas siapa pun.
Dari Reruntuhan, Tumbuh Harapan
Minggu pertama setelah PHK, Dimas hanya ingin tidur. Tapi pada minggu kedua, ia memaksa bangun, mandi pagi, dan duduk di depan laptop. Bukan untuk melamar kerja, tapi... untuk belajar ulang.
Ia buka YouTube, mulai nonton tutorial Canva. Lalu ikut kelas online gratis di Coursera tentang SEO dan content marketing. Satu demi satu, keterampilan yang dulu sempat dikuasai, diasah lagi.
Bukan tanpa ragu. Tapi setiap jam belajar adalah perlawanan terhadap rasa takut. Ia mulai buat akun portofolio, bantu teman yang punya UMKM untuk promosi online, lalu rutin berbagi ilmu di LinkedIn. Tiga bulan kemudian, ia belum punya pekerjaan tetap---tapi ia punya arah.