Setiap tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional---sebuah momentum untuk mengingat jasa Ki Hajar Dewantara dan merenungkan kembali perjalanan pendidikan di negeri ini. Namun, peringatan tahun ini terasa berbeda.Â
Di tengah semangat perubahan yang dibawa oleh pemerintahan baru Kabinet Merah Putih, pendidikan Indonesia kembali menjadi sorotan utama. Apakah kita benar-benar telah merdeka dalam belajar?
Dari Taman Siswa hingga Revolusi Digital
Lebih dari seabad lalu, Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem pendidikan kolonial yang elitis. Ia menanamkan nilai-nilai kebebasan berpikir, kesetaraan, dan kemandirian dalam belajar.Â
Nilai-nilai itu masih relevan hingga hari ini---terutama saat kita menatap masa depan pendidikan di tengah arus globalisasi dan teknologi digital.
Dalam lima tahun terakhir, program Merdeka Belajar yang diinisiasi oleh Menteri Nadiem Makarim mengubah banyak wajah pendidikan kita---menghapus Ujian Nasional, memberi keleluasaan pada guru dan murid, serta mendorong pembelajaran berbasis proyek dan konteks. Tapi kini, dengan terbentuknya Kabinet Merah Putih yang resmi dilantik Oktober 2024, arah kebijakan itu tampaknya akan mengalami pembaruan.
Kabinet Merah Putih dan Wajah Baru Pendidikan
Kabinet Merah Putih, yang dibentuk oleh Presiden Prabowo Subianto, menandai perubahan besar dalam struktur pemerintahan, termasuk di sektor pendidikan. Kini, pendidikan dikelola oleh dua kementerian yang terpisah:
- Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, dipimpin oleh Abdul Mu'ti
- Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, dipimpin oleh Brian Yuliarto
Langkah ini bisa dibaca sebagai strategi untuk lebih fokus menangani permasalahan khas di masing-masing jenjang. Tapi perubahan struktural ini juga mengundang pertanyaan: bagaimana nasib program-program sebelumnya?Â
Akankah Merdeka Belajar tetap dilanjutkan, atau diganti dengan pendekatan baru yang sejalan dengan visi Prabowo-Gibran?
Masih Banyak PR di Depan Mata
Di balik segala perubahan dan inovasi, fakta di lapangan masih mengkhawatirkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah (APS) anak usia 16-18 tahun masih berada di angka 77%, artinya 1 dari 4 remaja usia SMA belum bisa melanjutkan pendidikan. Sementara itu, di pelosok Indonesia, guru honorer masih berjibaku dengan keterbatasan gaji dan fasilitas.
Belum lagi tantangan literasi digital, pemerataan kualitas sekolah, dan ketimpangan antara sekolah negeri dan swasta. Semua itu menjadi cermin bahwa upaya mencerdaskan kehidupan bangsa belum sepenuhnya tuntas.