Sumatera Barat memang unik. Di tanah ini, falsafah hidup "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" menjadi pegangan. Logikanya, dengan falsafah seerat itu pada nilai-nilai Islam, pengembangan perbankan syariah seharusnya lebih mudah dibandingkan daerah lain.Â
Namun, kenyataan di lapangan justru berkata sebaliknya.
Saya mengalaminya langsung pada awal tahun 2000-an, ketika dipercaya memimpin cabang sebuah bank syariah nasional di Padang. Letaknya strategis --- tepat di depan Masjid Raya Nurul Iman, salah satu masjid terbesar di kota ini, dan tak jauh dari kawasan Pondok, pusat perdagangan yang juga dikenal sebagai "Pecinan"-nya Padang.
Secara alami, kami berpikir bahwa jamaah masjid akan menjadi pangsa pasar utama. Namun yang terjadi, sungguh di luar dugaan. Nasabah awal kami justru lebih banyak berasal dari warga Pondok ketimbang jamaah Masjid Raya.Â
Para pedagang keturunan Tionghoa ini pragmatis: selama layanan baik, produk sesuai kebutuhan, dan syarat administrasi fleksibel, maka bank syariah atau bukan, bukan masalah bagi mereka. Sementara itu, dari jamaah masjid sendiri, pendekatan harus dilakukan dengan lebih sabar, lebih meyakinkan.
Hal itu menjadi pelajaran pertama saya: bahwa di banyak kasus, praktik ekonomi sering lebih ditentukan oleh kebutuhan rasional daripada ikatan emosional atau religius.
Tak hanya di tingkat praktis, tantangan itu juga saya alami di tingkat akademis. Ketika diundang untuk memberikan sosialisasi mengenai ekonomi dan perbankan syariah di salah satu universitas ternama di Padang, saya berharap mendapat dukungan moral. Namun, apa yang terjadi?
Beberapa doktor yang hadir justru bersikap skeptis. Ada yang terang-terangan menyebut bahwa ekonomi syariah "tak lebih dari ekonomi konvensional yang diberi kerudung." Tuduhan ini tentu saja berat --- apalagi datang dari kalangan intelektual.
Namun, saya sudah siap. Sebelum hijrah ke bank syariah, saya mendalami sumber-sumber aslinya. Saya ajak forum itu menelusuri sejarah pemikiran ekonomi: bagaimana Kitab al-Amwal karya Abu Ubayd, yang ditulis pada abad ke-8, telah membahas fungsi uang --- sebagai alat tukar dan penyimpan nilai, dalam bingkai etika dan keadilan sosial. Lalu, saya bandingkan dengan The Wealth of Nations karya Adam Smith pada abad ke-18, yang konsep dasarnya serupa, hanya saja Smith menambahkan dimensi baru: uang sebagai komoditas --- yang pada akhirnya membuka jalan bagi praktik riba modern dan eksploitasi finansial.
Akhirnya, saya balikkan perspektif:
Bukan ekonomi syariah yang "mengadopsi" konvensional, melainkan ekonomi konvensional yang sebenarnya merupakan cabang dari ekonomi berbasis etika, namun dengan "kerudung" etikanya yang ditanggalkan.
Pendekatan ilmiah itu membuat suasana diskusi mencair. Sejumlah akademisi mulai membuka diri. Itu momen penting bagi saya: bahwa memperjuangkan bank syariah bukan hanya soal membuka cabang atau menawarkan produk, tapi membangun kembali pemahaman dasar tentang etika dalam bertransaksi.
Pengalaman lapangan dan akademik itu kemudian memperkaya tugas saya di masa berikutnya, ketika bergabung bersama LPPI (Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia) untuk menyusun studi kelayakan dan rencana aksi konversi Bank Pembangunan Daerah (BPD) dari konvensional menjadi syariah.
Kami menggarap dua provinsi secara hampir bersamaan: Riau dan Sumatera Barat.
Di Riau, prosesnya mulus. Gubernur dan para kepala daerah kabupaten/kota sebagai pemegang saham BPD bersatu dalam visi besar: mengonversi BPD menjadi bank umum syariah. Didukung penuh DPRD dan tokoh masyarakat, Riau kini memiliki bank daerah berbasis syariah yang kuat dan berkembang pesat.